Lihat ke Halaman Asli

Rafi Rasyid Sukmahadi

Student of Al-Azhar University

Hati-Hati dengan Tanah Sejarah Sukamanah

Diperbarui: 8 Februari 2023   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menara Masjid Baitul Mujahidin Pesantren KH. Zainal Musthafa Sukamanah Kab. Tasikmalaya (Gambar dok. pribadi)

Tulisan ini saya dedikasikan untuk pesantren tercintaku, yakni Pesantren KH. Zainal Musthafa Sukamanah yang berada di Kab. Tasikmalaya. Selain itu, saya ingin mengabadikan kenangan saya selama menjadi santri di sana sampai sekarang. Kenapa saya katakan sampai sekarang? Karena sampai kapan pun identitas saya sebagai santri Sukamanah akan terus melekat sampai hari kiamat (itu yang saya harapkan agar saya bisa tetap menyambung tali keberkahan ilmu dan berkumpul bersama guru-guru juga para mujahid Sukamanah di surga kelak, aamiin).

Boleh dikatakan jikalau saya dahulu tidak mondok, mungkin ntah bagaimana kehidupan saya sekarang. Antara terapung di tengah lautan tanpa tujuan ataupun tenggelam di dalamnya. Untung saja skenario Allah begitu indah bagi seluruh hamba-Nya. Sehingga satu kenikmatan yang begitu agung dapat merasakan bagaimana menjadi seorang santri.

Selepas lulus dari sekolah dasar, Ibu saya langsung menempatkan saya di Pesantren Sukamanah. Dengan harapan dapat menimba ilmu agama yang bermanfaat dunia dan akhirat. Awal mula masuk pesantren, tentu sebagai santri baru akan mengalami fase dimana kehidupan berubah total. Tanpa pengurusan orang tua kandung secara langsung adalah hal yang memerlukan adaptasi yang relatif panjang. Tidak betah, banyak masalah dengan diri sendiri dan orang lain, ingin pulang ke rumah, dan lain sebagainya. Setahun berlalu sudah, di tahun kedua (yakni kelas 8 MTs) sempat memutuskan untuk keluar dari pesantren dan hanya ngaji di kampung halaman (modusnya mah wkwkwk) yang padahal belum tentu akan mendapatkan kurikulum terbaik sebagaimana di pesantren dan belum tentu hadir di pengajiannya juga wkwkwkwk....

Namun, untung saja Ibu saya memberikan kelonggaran dan pilihan terhadap keputusan yang akan saya ambil tersebut. Karena seperti itu, saya jadi mikir dua kali dong. Kalau saya keluar, toh nanti pun teman seangkatan saya umurnya masih sama tapi mungkin dalam hal keilmuan pasti berbeda. So, saya pun mengurungkan kembali rencana keluar dari pesantren dan menjalani pendidikan kembali.

Di kelas 8, saya pernah bercermin lama dan mengajak diri sendiri. Lalu bertanya "apa rencanamu selanjutnya di tahun kedua ini? Fase kelas 7 sudah terlewati dan kamu masih tetap hidup bahkan bertumbuh". Akhirnya saya menulis semua rencana dan cita-cita yang saya inginkan di kelas 8 tersebut. Dulu mungkin prestasi sederhana yang dapat memacu untuk semangat belajar adalah juara kelas (di sekolah) dan juara marhalah (di pesantren). Akhirnya jiwa-jiwa ambisius itu membara.

Namun, lagi dan lagi.... melihat orang lain lebih hebat dari kita itu beuh hantaman mentalnya bukan main wkwkw (mungkin sekarang kita mengenal istilah insecure).

Dipikir-pikir... apa yang hal yang membuat kita itu bisa lebih unggul dari yang lain? Kalau hanya juara kelas dan marhalah yang jadi tujuan, hal itu kiranya terlalu sempit. Karena belum tentu yang juara itu adalah yang terbaik. Mereka hanya terbaik dalam segi nilai pelajaran. Meskipun tentu usaha mereka yang juara itu dalam belajarnya habis-habisan.

Akhirnya disela-sela ambisius saya dalam meraih juara pun saya iringi dengan mencoba memerhatikan bagaimana cara berpikir seseorang dalam belajar. Alhasil, saya sempat mendapat kesimpulan bahwa ada sebagian siswa yang dia itu tidak mengejar nilai pelajaran. Namun, dia mengambil banyak hikmah, dasar-dasar teori, dan hal unik yang tidak dapatkan oleh orang lain. Meskipun dia tidak tampil sebagai juara tapi dia tampil sebagai ahli dalam memiliki softskill. 

Karena masih bingung mau jadi apa? So, saya hanya bisa berusaha memaksimalkan apa yang sedang menjadi kurikulum di pesantren dan sekolah. Pada akhirnya, satu yang menjadi nilai lebih dari yang lain yaitu punya ketertarikan dan aksi yang lebih dalam tahfizh al-Qur'an. Meskipun dalam kurikulum pendidikannya Pesantren Sukamanah itu adalah pondok salaf (yang cenderung mengkaji kitab kuning atau lebih dikenal pesantren alat).

Namun, karena dulu saya teringat pernah bertanya pada Ibu saya "bu kalau nanti udah hafal al-Qur'an harus ngafal artinya juga dong? Atuh pasti lebih banyak, berarti enak jadi orang arab ya...mereka ngafal al-Qur'an otomatis tau artinya?". Akhirnya di Pesantren Sukamanah lah saya menemukan alat atau kuncinya agar ketika menghafal al-Qur'an otomatis tahu juga artinya bahkan paham bagaimana maknanya. Yaitu ilmu alat tadi, pelajaran nahwu-shorof-balagah adalah kunci dasar dalam memahami bahasa arab dan bahasa al-Qur'an yang turun ke bumi adalah bahasa Arab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline