Lihat ke Halaman Asli

Rafi Rasyid Sukmahadi

Student of Al-Azhar University

Memahami Konsep "Apa Adanya" dan "Ada Apanya"

Diperbarui: 15 Juni 2022   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tetaplah bangga dengan apa yang ada pada diri sendiri sebagai bentuk syukur. -Sungai Nil- (Dokpri)

Hallo kompasianer dan teman-teman semua dari Sabang sampai Merauke. Selamat membuka mata di hari yang indah ini. Nikmati semua proses yang sedang loading, nanti juga ada momentum succesfull/uploaded. Kali ini saya hanya akan membagikan benak pikiran yang tadi sempat terlewat dalam otak. Yakni tentang konsep seperti judul di atas.

Sering kali kita terjebak dengan pemahaman konsep istilah atau retorika "apa adanya" dan "ada apanya". Saat kita mendengar bahasa "apa adanya", seakan-akan kita harus tampil seadanya tanpa ada yang harus diperbaiki karena yaaa apa adanya. Sehingga tidak sedikit orang-orang memahami bahasa tersebut dengan kesan yang tidak maju, tampil seadanya, berusaha seadanya tanpa ada usaha, apa pun seadanya, tidak ada yang dilebih-lebihkan yang berakibat pada malasnya berusaha atau tampil lebih baik.

Atau mungkin, kita juga sering dikatakan orang lain, kamu "ada apanya"?. Yang terkesan hanyalah rasa direndahkan atau diragukan dalam suatu hal atau beberapa aspek yang ada pada diri kita. Sehingga berdampak pada melemahnya mental dan kepercayaan diri masing-masing.

Lalu apakah semua itu benar?

Jika ditinjau dari fakta sosial yaaa benar juga, sering kali teman-teman mungkin merasakan hal seperti itu. Baik itu sebagai pelaku atau pun korban. Pelaku yakni orang yang mengatakannya pada orang lain. Korban yakni orang yang dilontari bahasa seperti itu. Kita sering kali menjadi pelaku apa korban nih? Wkwk.

Namun, apakah ada yang harus benahi dari kedua konsep bahasa tersebut?

Jelas, mesti ada yang dibenahi dari kedua konsep bahasa tersebut. Berikut pandangan penjelasanku tentang hal tersebut, yang pada dasarnya kedua konsep bahasa tersebut memiliki persamaan ditinjau dari manfaatnya untuk self-improvement (perbaikan/pengembangan diri) dan juga memiliki perbedaan yang signifikan ditinjau dari subjek-objeknya. Oleh karena itu, kedua konsep bahasa tersebut bisa menjadi prinsip hidup yang mesti tertanam pada diri kita masing-masing.

1. "Apa Adanya"

Bahasa ini seharusnya diterapkan pada diri kita sebagai prinsip untuk senantiasa jujur. Jujur pada diri sendiri dan orang lain dari segi sikap, kemampuan akademik/non-akademik, dan penampilan gaya hidup yang disesuaikan dengan keadaan ekonomi kita khususnya. 

Karena dengan jujur apa adanyalah kita dapat hidup merdeka tanpa harus menjadikan penilaian orang lain sebagai acuan utama. Namun, penilaian orang lain itu bisa menjadi bahan evaluasi untuk lebih baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline