DEMI IBU
Cerpen A. Sukma Asar
Sebuah foto berbingkai kayu berukir dan berukuran besar diletakkan persis di dekat kepalamu.
Fotomu itu memakai seragam putih sebagaimana profesimu sebagai tenaga medis profesional. Kamu tersenyum seolah-olah mengabarkan kepada semua orang yang datang pada hari ini bahwa kamu benar-benar telah bebas dari aktifitas duniawimu. Purna tugas pun telah kamu jalani, tepat setahun lebih dua bulan sebelum kepergianmu. Pada fotomu bagian bawah tertulis namamu: Maria Angkasa.
Kepergianmu hanya formalitas menuju alam keabadian sebagai keharusan mengikuti suratan takdir. Kepergianmu hanya sebuah momen penanda bahwa semua yang hidup di dunia akan pergi menghadap Sang Pencipta. Tanpa tarik ulur, tanpa ganggu gugat.
Acara melayat di hari ini terbilang sangat ramai. Tenda lebar yang memenuhi separuh jalanan depan rumahmu, cukuplah menampung orang-orang yang sebentar lagi akan mengiringimu ke liang lahat.
Para pelayat silih berganti datang memberi belasungkawa dan doa. Wajah-wajah mereka bermuram-durja, berlumur sedih. Itu artinya kamu adalah orang baik di mata mereka.
Tubuhmu yang terbujur kaku, sebenarnya telah meninggalkan beberapa paragraf nelangsa kepada Sinta dan Tuti. Seharusnya jauh sebelum kamu pergi, tirai maaf di antara kalian sudah luruh serendah-rendahnya.
*
"Kalau kalian tidak suka keputusan Ibu menikah, kamu boleh keluar dari rumah ini!"
Sungguh! Kamu seperti tidak menyadari bahwa ucapan-ucapanmu itu meruntuhkan rasa hormat anak-anakmu kepadamu. Kamu mencambuk rasa kasihnya kepadamu lalu meninggalkan lubang perih di palung hati mereka. Kamu selalu memaksakan kepentingan atas anak-anakmu. Dan puncak egoismu itu saat kamu memutuskan menikah tanpa meminta persetujuan mereka. Kamu lebih senang akan kedatangan dua anak perempuan yang katamu kecantikannya mirip bidadari, yang nyata-nyata mereka bukan lahir dari rahimmu. Mereka anak-anak dari lelaki yang akan menikahi kamu. Kamu itu sungguh terlalu, Maria!