Undang-Undang TPKS pada esensi sejatinya adalah suatu kristalisasi dari bentuk political will DPR sebagai representasi wakil rakyat di Parlemen yang kemudian merespon aspirasi dari publik dan kebutuhan faktual serta keadilan terhadap korban kekerasan seksual dan payung hukum untuk aparat penegak hukum.
Dalam naskah akademik UU TPKS berdasarkan laporan dari komnas perempuan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat yang menggambarkan bahwa kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman.[1] Dengan demikian maka RUU TPKS di sahkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Hal ini sejalan sebagaimana pandangan Roscoe Pound Law as tool of social engineering and social control dimana hukum juga bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat sehingga hukum itu bersifat responsif. [2]
Satu sisi hal ini adalah angin segar yang perlu kita apresiasi, dimana regulasi ini diharapkan mampu mebawa perubahan signifikas atas problematika yang ada pada sektor-sektor tindak pidana kekerasan seksual yang sampai hari ini masih banyak terjadi kriminalitas terhadap wanita yang sering menjadi korban kekerasan seksual.
Namun disisi lain kita perlu menegakan kembali untuk kemudian UU aquo ini dapat berlaku dengan baik perlu adanya aturan turunan atau peraturan pemerintah serta regulasi yang dapat mendukung terciptanya prosedur yang sesuai aturan didalam instrumen UU TPKS tersebut.
Kita memerlukan aturan yang lebih spesifik demi terciptanya hukum yang secara prosedural maupun subtantif dapat terlaksana, disamping itu ada beberapa catatan terhadap narasi dari frasa yang ada didalam UU TPKS bahwa mengenai frasa secara gramatikal dari pada Tindak Pidana Kekerasan Seksual perlu diberikan standarisisasi atau parameter yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana kekerasan seksual itu seperti apa dan mendapatkan objektivitas yang lebih konkret dan tidak multiftasir.
Sebab didalam frasa UU a quo bahwa penafsiran mengenai tindak pidana kekerasa seksual belum memberikan satu standarisasi yang berifat konkret tidak multitafsir dia terkesan lebih subjektif yang disandarkan pada pengamatan seseorang.
Hal ini sejatinya tidak boleh diterapkan didalam UU yang diharuskan mampu menjadi kristalisasi untuk sebuah kepastian hukum lebih dan keadilan tercapai, secara substansi harus kita benahi sebelum melangkah kepada aspek lainnya seperti penegak hukum dan juga bagaimana kultur masyrakatnya.
Penulis melihat bahwa sebagai negara hukum harus mampu memberikan hukum yang tidak ambigu atau tidak multitafsir sebagaimana dalam asas hukum pidana bahwa hukum didalam pasal tersebut harus jelas, tidak "abu-abu", tidak multitafsir, dan memenuhi prinisp lex scripta, lex certa, lex stricta dan lex praevia.
Lex scripta artinya hukum pidana tersebut harus tertulis, Lex certa artinya rumusan delik pidana itu harus jelas tanpa ada analogi, dan lex Praevia yang aritnya hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut.
Artinya negara harus mampu menghadirkan hukum yang sesuai sebagaimana aturan mestinya sehingga ia dapat ditegakkan dan mampu mampu mengahadirkan keadilan sebagai panglima tertinggi dari sebuah huku