EKSISTENSI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA PASCA PUTUSAN MK NOMOR 91/PUU-XVIII/2020
Pada hakikatnya problematika hukum undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja yang sangat akrab di telinga kalangan masyarakat umum dengan sebutan omnibus law banyak menuai polemik di berbagai sivitas akademik diantaranya adanya problematika terkait instrumen hukum yang dibangun dinilai tidak sejalan dengan konstitusi tertinggi atau bersifat inkonstitusional terhadap UUD Tahun 1945.
Di samping itu terkait proses pembentukannya sangat minim terhadap partisipasi publik atau rendahnya kualitas partisipasi publik terkait proses pembahasan undang-undang cipta kerja, yang demikian sejatinya prinsip dasar dalam menerapkan suatu produk undang-undang agar mendapatkan legitimasi dari masyarakat setempat sehingga dia lahir atas proses institusionalisasi dari volkgeist atau jiwa bangsa masyarakat.
Kendatipun undang-undang cipta kerja ini banyak menuai penolakan dari kalangan para sivitas akademika dan masyarakat, tetap tidak dapat membendung motivasi pemerintah untuk tetap membentuk undang-undang cipta kerja ini meskipun di undangkannya pada tahun 2020 silam bersamaan ditengah-tengah masa pandemi covid-19 yang banyak memakan korban dan menjadikan status negara sebagai tanggap darurat
Namun hal demikian tidak menutup semangat dari kalangan masyarakat untuk menegakkan keadilan sebagai panglima hukum tertinggi di suatu negara hukum. Berbagai tindakan telah di lalui barbagai diskusi publik telah di laksanakan dan berbegai mobilisasi gerakan massa untuk turun kejalan telah usai di lakukan namun belum menuai hasil yang maksimal, hal ini sejalan dengan filosofi adagium when injustice becomes law resistance becomes duty bahwa ketika ketidak adilan menjadi hukum, perlawanan adalah kewajiban.
secara praktek terkait metode penyusunan omnibuslaw jika ditinjau dari prinsip hukum yang ada didalam sistem hukum negara Indonesia sebagai penganut civil law system pada prakteknya tidak di atur secara komprehensif mengenai mekanisme pembentukan dengan metode omnibuslaw khususnya di dalam norma hukum undang-undang nomor 15 tahun 2019 tentang perubahan atas undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai undang-undang rujukan dalam membentuk sebuah undang-undang dalam perspektif dari kamus Black’s Law Dictionary bawa omnibus law adalah “relating to or dealing with numerous objects or items at once; including many things or having various purposes” yang dapat diartikan sebagai menggabungkan beberapa hal menjadi satu.
adapun persoalan adanya judicial riview terkait UU Cipta Kerja ini bahwa sejatinya Mahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum tertinggi agar dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusi adalah pengawal konstitusi ( the guardian of the constitution), sehingga lembaga inilah yang memiliki kedudukan sebagai penafsir terakhir konstitusi ( the final interpreter of the constitution). Dimana salah satu fungsi dari mahkamah konstitusi adalah untuk melindungi hak konstitusional warga negara.[1]
Adapun sejumlah pemohon yang telah terdaftara di Mahkamah Konstitusi pasca pengundangan undang-undang cipta kerja adalah sebanyak 12 pemohon. Dari sejumlah pihak yang mengajukan permohonan uji materil maupun formil yaitu dari dua belas (12) jumlah pemohon terdapat sebelas (11) pemohon dalam gugatannya tidak dapat diterima karena kehilangna objek dan tidak memiliki legal standing atau di anggap N.O. oleh Mahkamah Konstitusi dan hanya ada satu permohonan yang dikabulkan untuk sebagian terhadap uji formil dari undang-undang cipta kerja.
Adapun Putusan MK yang menyatakan bahwa undang-undang nomor 11 tahun 2020 adalah bersifat inskonstitusional bersyarat atau conditionally constitutional yaitu suatu undang-undang atau bagiannya menjadi konstitusional atau tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang memenuhi syarat yang ditetapkan MK, sebaliknya jika syaratnya tidak dipenuhi menjadi inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD Tahun 1945
Tindakan ini secara konsepsi yuridis menjelaskan kepada publik bahwa hadirnya putusan ini adalah pertama kalinya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi terkait adanya suatu undang-undang secara formil bersifat inkonstituisioal, atas dasar hal tersebut patut untuk di apresiasi. Namun, putusan ini menuai kritikan karena pada prinsipnya secara praktek bahwa MK disini memisahkan antara proses dengan hasil. Jikalau kita amati secara teori bahwa suatu produk hukum apabila telah dinyatakan cacat secara prosedur atau cacat formil maka secara mutatis-mutandis akan mengakibatkan “batal demi hukum.” Makna dari hal ini adalah bahwa proses yang dilakukan sejak awal dia telah cacat hukum atau bertentangan maka segala sesuatu yang dihasilkan atas proses yang inkonstitusional itu akan salah juga kareana dia tidak melalui proes inkonstitusionalisasi dari masyarakat untuk mendapatkan sebuah legitimasi. [2]