Politik hukum yang aspiratif akan menciptakan Hukum yang Responsif
Namun Politik hukum yang Konservatif akan menciptakan hukum yang Tirani dan Ortodoks (Profesor, Mahfud MD. Dalam Disertasinya Politik Hukum Indonesia)
Pada hakikatnya bahwa lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Tambang Dan Minerba dengan menerapkan sistem sentaralisai sejatinya hal ini telah meniadakan Kebijakan Dan Kewenangan Daerah Dalam Mengembankan Potensi Di Daerahnya. Sentralisasi bukanlah cerminan negara yang demokrasi yang berdiri di atas hukum yang aspiratif dan responsif karena pada Prinsipnya sentralisasi ini pada tidak sejalan dimana Pada hakikatnya Konstitusi kita telah mengakomodir konsep desentraliasai dan otonomi daerah sebagaimana yang termaktub pada pasal 18 ayat (2) undang undang dasar tahun 1945 yang mengatur tentang adaya pemberian hak otonomi daerah baik itu provinsi kabupatan dan kota untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi .
Hal ini dimaksudkan bukan hanya sekedar untuk mengalihkan kewenangan semata dari pemerintah pusat kepada daerah. Namun tujuan dari value regulasi tersebut agar masyarakat di daerah yang sangat beragam akan kultur dan budayanya dapat menentukan nasibnya sendiri melalui pemerintahan daerah yang sesuai dengan asas otonomi daerah .
Narasi dari Argumen yang dibangun dalam naskah akademik dalam di bentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara , hal ini di latar berlakangi banyaknya kendala yang timbul akibat pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah hingga akhir tahun 2014 dari sekitar 8000 IUP yang telah di keluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten / kota Lebih dari 50 persen yang bermasalah atau tidak clean and clear CNC .
Hal ini lah yang menjadi dasar bagi pemerintah pusat untuk berupaya mengatur kembali pengaturan urusan kewenangan bidang Tambang atau minerba, dengan dalih untuk memperbaiki mekanisme pemberian perizinan tambang atau minerba serta pengaturan yang jelas sebagai dasar hukum terhadap proses dalam clean and clear atau CNC.
Namun apakah kebijakan ini pro terhadap rakyat ?
Pada esensi sejatinya bahwa struktur negara yang paling dekat dengan rakyat adalah pemerintah daerah, dengan bersamanyalah rakyat dapat berkembang dan mengembangkan potensi yang di miliki daerah. Artinya secara logical analysis mengurangi peran pemerintah darah di bidang peertambangan sama halnya tidak memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan potensi sumber daya alam.
Oleh sebab itu secara mutatis mutandis resonansi atas regulasi yang di hadirkan atas peralihan perizinan atau sentralisasi bukanlah kebijakan yang tepat atau produk hukum yang di harapkan oleh masyarkat yang tidak sesuai dengan culture of justifikation ( kultur justifikasi ) atau ketdak sesuaian volkgeist dari masyarakat
Pun demikian bahwa pengalihan atau sentralisasi kewenangan perizinan tambang ini justru menyengsarakan rakyat dimana revisi UU Minerba maupun relaksasi kebijakan strategis nasional semakin menjauhkan akses masyarakat terhadap akes informasi, partisipasi dan keadilan sehingga tidak ada lagi Checks and balance dalam berbangsa dan bernegara . Namun hari ini resonansi yang di hadirkan atas regulasi sentralisasi tidaklah mencerminkan adanya asas proporsionaltas tersebut justru merobek dan menderogasi perasaan masyarakat daerah yang khususnya di daerah tambang
Sehingga prinsip sentralisasi ini juga tidak sejalan atas prinsip Pemerintahan yang Baik sebagaimana yang termaktub pada pasal 1 ayat (17) Undang--Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi bahwa dalam proses pemerintahan haruslah menciptakan adanya asas proporsional yang atas value terebut mampu menghadirkan adanya harmonisasis antara rakyat dengan pemerintah daerah