Belakangan kata 'terima kasih' menjadi polemik terlebih di dunia Maya. Karena berseliweran ucapan terima kasih kepada Bapak Joko Widodo atau Bapak Jokowi, yang dirasa sudah melakukan yang terbaik untuk Bangsa Indonesia selama dua periode kepemimpinannya.
Meskipun sebenarnya siapapun pemimpinnya tidak mungkin mampu mewujudkan seratus persen apa yang dikehendaki rakyatnya. Karena mengurus bangsa yang besar tidaklah mudah, terlebih Indonesia yang memiliki banyak keberagaman, baik suku, budaya, agama dan yang lainnya.
Apalagi setiap orang, punya pandangan politik yang berbeda-beda. Mirisnya lagi, ada beberapa kelompok yang dengan sengaja ingin menjatuhkan pemerintahan karena ketidaksukaan.
Memang, kita tidak boleh memaksakan seseorang untuk menyukai kita, tetapi setidaknya jangan menghambat kinerja yang sedang berjalan terlebih untuk kepentingan bangsa sendiri.
Termasuk ucapan terima kasih bagi yang kurang suka pun menjadi masalah.
Disisi lain, ada yang berpendapat bahwa ucapan terima kasih bisa kehilangan maknanya jika diucapkan terlalu sering atau secara otomatis tanpa perasaan tulus.
Di lingkungan profesional, misalnya, penggunaan ucapan terima kasih bisa menjadi pedang bermata dua. Karena di satu sisi menciptakan atmosfer positif, tetapi disisi lain dianggap hanya formalitas.
Konon seseorang yang jarang atau tidak suka mengucapkan terima kasih menunjukkan beberapa hal, tergantung pada konteksnya. Bisa jadi orang tersebut kurang terbiasa dengan norma sosial, atau merasa canggung dalam menyampaikan apresiasi secara verbal, atau mungkin memiliki kepribadian yang lebih tertutup.
Namun dalam beberapa kasus, hal ini juga bisa menjadi tanda kurangnya kesadaran emosional atau empati, meskipun tidak selalu berarti orang tersebut tidak menghargai bantuan atau kebaikan yang diterimanya.
Atau karena kebiasaan yang mempengaruhi cara seseorang mengekspresikan rasa terima kasih.