Lihat ke Halaman Asli

Sukma Widya Ramadhania

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Eksistensi Budaya Islam (Musyawarah) terhadap Seruan Perjuangan Hak atas Hutan & Tanah Adat Papua; "All Eyes on Papua"

Diperbarui: 8 Juni 2024   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Slogan seruan perjuangan atas hutan dan tanah adat Papua yang tengah mewarnai platform media sosial Indonesia

Seruan kebebasan dan kemanusian akhir-akhir ini turut menjadi perbincangan hangat di media sosial pada saat ini. Seruan-seruan ini merupakan salah satu cara masyarakat dunia berkontribusi di dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat yang tengah dirampas dan direnggut. Seruan-seruan ini pun menggaung di berbagai platform media sosial sebagai ajakan dan panggilan kepada masyarakat dunia untuk dapat bersama-sama menyuarakan aksinya tersebut. Salah satu seruan yang tengah ramai mewarnai media sosial internasional pada akhir bulan Mei kemaren ialah tagar dan Instagram story yang bertuliskan “All Eyes on Rafah” yang hingga saat ini telah mencapai 47 juta lebih postingan masyarakat dunia menyuarakan kampanye ini. Namun, beberapa hari setelah ramainya kampanye “All eyes on Rafah” ini, media sosial Indonesia turut diwarnai dengan kemunculan seruan untuk mendukung masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong, Papua Baratdaya dengan slogan “All Eyes on Papua”.

“All Eyes on Papua” merupakan slogan yang muncul di berbagai platform media sosial Indonesia pada awal bulan Juni tahun 2024 dan hingga hari ini slogan tersebut masih ramai di posting bagi sebagian masyarakat Indonesia. Seruan “All Eyes on Papua” menjadi topik hangat yang diperbincangkan kalangan masyarakat setelah suku Awyu dan suku Moi melakukan aksi damai di depan gedung Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 27 Mei 2024 kemaren. Dalam melakukan aksinya ini, suku Awyu dan suku Moi turut mendapat dukungan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil seperti salah satunya yaitu, Greenpeace. Adanya seruan hingga aksi ini semata-mata untuk mempertahankan tanah dan hutan adat Papua dari ekspansi atau perluasan perusahaan sawit yang mengabaikan hak-hak masyarakat Papua. Bagi suku Awyu dan suku Moi, hutan adat merupakan lumbung kehidupan mereka. Karena melalui hutan leluhur tersebut lah mereka dapat bertahan hidup. Maka dari itu, apabila operasi-operasi dari pada perusahaan-perusahaan sawit tersebut dapat menyebabkan terkikisnya wilayah leluhur mereka dan dapat memicu deforestasi serta dapat berdampak pada krisis iklim tanah air (Greenpeace Indonesia, 2024).

Aksi damai di depan gedung Mahkamah Agung (MA) ini dilakukan suku Awyu sebagai harapan terakhir untuk mempertahankan hutan dan tanah adat mereka. Karena gugatan yang diberikan oleh pejuang lingkungan hidup yaitu Hendrikus Woro terhadap Pemerintahan provinsi Papua yang telah memberikan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari, kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua, sehingga mereka mendapatkan izin lingkungan sebesar 36.094 Hektare. Selain PT Indo Asiana Lestari, terdapat beberapa konsesi yang dilakukan oleh PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama yang turut mengadakan konsesi di wilayah adat mereka. Sama halnya dengan suku Awyu, Suku Moi turut memperjuangkan wilayah adat mereka dari oligarki-oligarki perusahaan sawit PT Sorong Agro Sawitindo yang akan menebas 18.160 Hektare wilayah adat suku Moi (Koranpeneleh.id, 2024). Pada sebelumnya di kabupaten Sorong, PT Sorong Agro Sawitindo ini telah memegang izin seluas 40.000 hektare. Akan tetapi, pada tahun 2022 pemerintah pusat mencabut izin pelepasan Kawasan hutan dan izin usaha pperusahaan tersebut. Dari hal tersebut, suku Moi kembali berhadapan dengan PT Sorong Agro Sawitindo di PTUN Jakarta. Akan tetapi, usaha suku Moi melawan PT Sorong Agro Sawitindo gugur di dalam persidangan tersebut dan berakhir kepada Mahkamah Agung (MA) sebagai harapan terakhir mereka.

Selain geram terhadap oligarki yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, menurut pejuang lingkungan hidup, Hendrikus Woro, Suku Amyu dan suku Moi turut geram akibat tidak adanya keterlibatan di dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) hingga tidak adanya persetujuan dari masyarakat lokal suku Amyu dan Moi terhadap aktivitas-aktivitas perusahaan tersebut. Dalam hal ini dapat kita tarik benang merah, bahwasannya sangat diperlukan komunikasi dan koordinasi yang baik antara kedua belah pihak, sehingga memungkinkan adanya kerjasama yang lebih efektif tanpa menggeser hak-hak suatu masyarakat.

Komunikasi dan koordinasi yang baik dapat dilakukan melalui musyawarah. Musyawarah sendiri merupakan salah satu budaya islam yang turut melekat di dalam kehidupan bangsa Indonesia. Musyawarah berasal dari bahasa arab yaitu مشاورة yang merupakan Masdar dari kata syaawara yang memiliki arti berembug (Firdaus, 2020). Musyawarah merupakan perundingan bersama untuk dapat mengambil keputusan secara bersama-sama sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. Musyawarah ini menjadi bagian yang sangat penting membalut kehidupan sehari-hari kita di dalam bermasyarakat, karena dengan musyawarah ini kita dapat terhindar dari pada kepentingan personal yang dapat mengabaikan kepentingan bersama. 

Terdapat ayat Al-Quran yang menjelaskan akan pentingnya bermusyawarah ini, yaitu QS. Asy- Syura ayat 38 dan QS. Ali Imran ayat 159. QS. Asy-syura ayat 38 memiliki arti sebagai berikut: “dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”. Menurut tafsir Ibnu Katsir/Fathul Karim Mukhtashar Tafsir Al-Qur’an al-‘adzhim, karya Syaikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, Professor fakultas Al-Qur’an Universitas Islam Madinah dari QS. Asy- Syura ayat 38 tersebut, bahwasanya mereka patuh terhadap seruan-seruan tuhan dengan mengikuti para Rasul Allah dan taat kepadanya dengan menjalankan perintah-perintahnya serta menjauhi larangannya, dan perintah mendirikan sholat merupakan ibadah yang paling agung, sedangkan urusan-urusan manusia diputuskan melalui musyawarah. Sehingga mereka tidak pernah memutuskan sesuatu sebelum melalui tahap musyawarah. 

Selain itu, pada QS. Ali Imran ayat 159 turut menjelaskan sikap yang harus diperhatikan di dalam pengadaan musyawarah ini, diantaranya: sikap pertama yaitu lemah lembut dan rendah hati, sikap ini sangat diperlukan di dalam bermusyawarah karena dengan kita menjaga tutur kata dan tidak keras kepala, maka kita dapat saling menghargai ide-ide atau gagasan-gagasan yang dikemukakan para kerabat. Kedua yaitu sikap lapang dada, terbuka dan pemaaf, karena di dalam bermusyawarah tidak lepas dari adanya perbedaan pendapat, dengan adanya sikap ini kita dapat meminimalisir perselisihan di dalam forum musyawarah terebut. Ketiga yaitu sikap tawakkal, segala keputusan dari musyawarah, hendaknya para peserta memiliki sikap tawakkal di dalam menjalankan keputusan tersebut dengan melaksanakan dengan sepenuh hati (Firdaus, 2020).

Dari seruan “All Eyes on Papua” yang tengah ramai mengguncang platform media sosial Indonesia tersebut, terdapat suatu hal yang turut dilupakan para pemangku kepentingan perusahaan sawit tersebut terhadap masyarakat Suku Awyu dan Suku Moi ini, yaitu kurangnya komunikasi dan koordinasi diantara mereka. Sebagaimana budaya islam yang turut melekat di diri bangsa Indonesia yang selalu mengutamakan musyawarah di dalam mencapai suatu kepentingan, hendaknya selalu di implementasikan di dalam kehidupan sehari hari, sehingga tidak adanya hak-hak masyarakat yang terpinggirkan yang menimbulkan perselisihan. Maka dari itu, Musyawarah sangat penting untuk memungkinkan kerjasama yang lebih efektif.

Sukma Widya Ramadhania_20230510208_H_AIK 2_Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Sumber:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline