[caption id="attachment_284350" align="aligncenter" width="572" caption="Wali Nanggroe Aceh bergelar Al-Mukarram Maulana Al-Mudabbir Al-Malik. (sumber: http://acehonline.info/image/Wali_Nanggroe-Aceh-Malik-Mahmud-Al-haytar.jpg)"][/caption]
Alkisah, Great Roman Civil War ( 49 SM-45 SM) atau lebih dikenal dengan Caesar's Civil War merupakan salah satu konflik terakhir antara militer dan politik di Republik Romawi sebelum berubah menjadi Kekaisaran Romawi. Ketika itu, Julius Caesar yang sipil tengah beradu kekuatan dan pengaruh dengan seorang Jenderal Romawi Pompey di daerah-daerah Albania, Afrika, Yunani, Mesir dan Hispanik. Kekuatan Jenderal Pompey yang begitu besar hampir mendominasi semua ekspansi Romawi ke daerah-daerah itu, sampai dengan Julius Kaisar di Camp Rubicon berhasil meyakinkan para jenderal-jenderalnya untuk mengalahkan Jenderal Pompey pada pertempuran Munda yang juga mengantarkan Julius Kaisar sebagai Kaisar Romawi pertama.
Kemenangan Julius Kaisar ini sebenarnya bukan karena kehebatan dan kekuatan dirinya dalam memimpin pasukan, namun lebih kepada pembangunan citra bahwa dirinya tampak lebih hebat daripada kenyataannya. Caranya tentu dengan membuat acara-acara yang "seolah-olah" menghebatkan dirinya sendiri agar tampak baik dan tentunya hebat di mata orang lain. Situasi seperti itulah yang saat ini terjadi di Aceh kemarin, saat dilakukannya pengukuhan Wali Nanggroe ke-9 Malik Mahmud di Gedung DPR Aceh.
Malik Mahmud Al Haytar yang sekarang bergelar Al-Mukarram Maulana Al-Mudabbir Al-Malik, demikian kita disebutkan oleh Ketua DPRA Hasbi Abdullah wajib untuk memanggilnya, bukanlah tokoh hebat seperti Hasan Tiro ataupun tokoh-tokoh lain yang pernah menjadi Wali Nanggroe sebelumnya. Sebagai contoh, Wali Nanggroe pertama Tuanku Hasyim Banta Muda sempat bertempur melawan Belanda ketika pasukan Belanda yang dipimpin oleh Van Swieten merebut Istana di Kutaraja pada 24 Januari 1874. Ia bertempur melawan Belanda sampai membuat Panglima Van Swieten cukup geram dengan kelihaian Sang Wali Nanggroe ini. Saat itulah Tuanku Hasyim ditunjuk oleh Kesultanan untuk menjadi Wali Nanggroe setelah Sultan Alauddin Mahmud Syah wafat 2 hari setelah penyerbuan Belanda ke Istana Kutaraja. Ia ditunjuk sebagai Wali Nanggroe karena pengganti sultan Mahmud Syah (Sultan Alauddin Mahmud Syah) masih kanak-kanak. (Sumber:http://rekamaceh.wordpress.com/2013/09/23/mengenal-tuanku-hasyim-banta-muda/).
Kisah Wali Nanggroe Pertama ini juga tidak berbeda jauh dengan Wali Nanggroe ke-8, Hasan Tiro. Dengan keyakinannya untuk memperbaiki kehidupan rakyat Aceh, Hasan Tiro terus berjuang dari hutan ke hutan hingga pelariannya ke luar negeri, ia secara konsisten memperjuangkan kesetaraan martabat dan peningkatan kesejahteraan orang Aceh. Jadi sekarang bagaimana dengan Wali Nanggroe ke-9?
Menurut Ketua Komisi A DPRA, Adnan Beuransyah, alasan Malik Mahmud ditunjuk sebagai Wali Nanggroe ke-9 adalah karena ialah orang yang pertama kali menandatangani MoU Helsinki 2005 lalu. Ia juga menambahkan, bahwa banyak Profesor dan Doktor di Aceh namun yang menandatanganinya tetap satu orang. Demikian pula dengan banyak kaum ulama dan Wali di Aceh yang tidak dapat menandatanganinya.
Kalau itu alasannya, saya berpendapat sungguh sebuah personifikasi yang aneh dari seorang Ketua Komisi A DPRA. Apakah karena menandatangani MoU Helsinki maka layak mengemban tugas sebagai seorang figur pemersatu? Lalu bagaimana dengan catatan sejarah kehebatan Aceh masa lalu yang penuh dengan semangat perjuangan dan kepahlawanan? Apakah dengan membubuhkan tanda tangan di sebuah MoU menjadikan seseorang sebagai pahlawan? Hamid Awaluddin, ketua tim Indonesia pun tidak menjadi Presiden, meskipun ia ikut menandatangani MoU itu?
Hingga saaat ini, sosok Malik Mahmud yang dijadikan Wali Nanggroe ke-9 oleh DPRA masih merupakan kontroversi dengan latar belakang yang gelap dan simpang siur. Seolah-olah rakyat Aceh diharuskan "kawin paksa" dengan Wali Nanggroenya sendiri yang sedang menjalankan taktik strategi pencitraan seperti layaknya Julius Kaisar di masa Romawi Kuno. Yang jelas, saya melihat sang Wali ke-9 ini bukanlah Jenderal Pompey yang agung, fair dan bermartabat, namun lebih merupakan tokoh licik yang sarat dengan dusta kepada rakyatnya sendiri seperti Julius Kaisar maupun Sengkuni dalam babad tanah Jawa.
SW
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H