Lihat ke Halaman Asli

Siapa Pembunuh Keji Intel TNI di Aceh?

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peristiwa pembunuhan keji kembali lagi terjadi di Serambi Mekah. Kali ini korbannya adalah 2 orang anggota TNI AD yang tengah bertugas di Aceh. Pada Senin lalu, Sersan Indra dan Sersan Hendriyanto dikabarkan tengah melakukan kunjungan ke rumah Kepala Mukim bernama Daud di Kecamatan Nisam Antara Aceh Utara. Tujuannya untuk menggali informasi kelompok bersenjata Din Minimi yang meresahkan warga selama ini. Menjelang petang,  kedua anggota TNI ini pergi meninggalkan rumah Mukim Daud.

Di tengah perjalanan, kedua prajurit ini didatangi oleh sekitar 10 orang bersenjata dan segera dibawa dengan kendaraan roda empat. Selasa pagi, jasad kedua prajurit malang ini ditemukan warga setempat dalam keadaan tidak bernyawa. Media-media lokal menyebutkan mereka ditembak dari jarak dekat. Keduanya ditemukan tewas dengan cara yang mengenaskan dalam keadaan terikat dan hanya berpakaian dalam.

Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Agus menyesalkan peristiwa tragis ini dan menyatakan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian untuk mengusut kasus ini hingga tuntas dan  kesiapannya untuk membantu pihak kepolisian apabila diperlukan.

Kabar yang beredar, menyebutkan TNI telah memperoleh identitas pelaku penculikan 2 prajuritnya tersebut. Semua opini di media mengarah pada keterlibatan Din Minimi dalam peristiwa ini. Dan sepertinya kita juga dengan sengaja digiring untuk mempercayai berita tersebut bahwa Din Minimi lah pelaku dari berbagai tindak kekerasan di Aceh. Pertanyaannya sekarang, apa motif dari Din Minimi menculik dan membunuh dua intel tersebut? lalu apa yang dilakukan dua intel tersebut di Aceh Utara, padahal wilayah "bermain" Din Minimi di Aceh Timur? dan siapa aktor di balik peristiwa ini?

Berbicara motif, menurut saya Din Minimi tidak memiliki motif yang cukup untuk menculik dan bahkan membunuh dua intel tersebut. Kekuatan bersenjata Din Minimi sangat kecil dan wilayah operasinya pun jauh di Aceh Timur, tentunya ia tak ingin gegabah untuk melakukan tindakan kekerasan kepada aparat keamanan. Apalagi, tujuan utama terbentuknya kelompok bersenjata Din Minimi awalnya adalah kekecewaan terhadap pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan ZIKIR (Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf) yang dianggap gagal dalam mensejahterakan rakyat Aceh, sehingga disimpulkan "musuh" Din Minimi bukan aparat keamanan melainkan pemerintah Aceh. Lebih jauh lagi, dapat disimpulkan motif Din Minimi adalah persoalan "perut", sehingga menculik dan membunuh aparat tidak akan menyelesaikan persoalannya tersebut. (sumber: http://www.harianaceh.co/read/2014/10/10/36320/din-minimi-kamoe-lawan-zikir-sampoe-darah-habeh).

Selanjutnya, apa tujuan dari dua intel tersebut di Aceh Utara mencari Din Minimi? Sebagaimana di ketahui, wilayah operasi Din Minimi berada di Aceh Timur, bahkan terakhir kali saat penggerebekan polisi awal Januari lalu (http://aceh.tribunnews.com/2015/01/05/din-minimi-mengaku-tertembak-di-betis) ia tengah berada di Aceh Timur.  Sehingga logika saya berkata buat apa mencari di Aceh Utara padahal info yang berkembang ada di Aceh Timur? Pada masa konflik lalu, GAM memiliki karakteristik operasi sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Sehingga, masuk ke wilayah "orang lain" hampir tidak mungkin dilakukan. Menurut saya, kedua intel tersebut tengah menggali informasi yang terkait dengan teror dan tindak kekerasan yang terjadi di Wilayah Aceh Utara, bukan untuk mencari Din Minimi.

[caption id="attachment_357286" align="aligncenter" width="329" caption="Tgk.Ni, Panglima GAM wilayah Pasee (Sumber: https://www.flickr.com/photos/atjeh_group/13683619704/)"]

14272517171712613085

[/caption]

Dan yang terakhir siapa aktor di balik peristiwa ini? Menurut saya kita lihat saja dimana kejadian ini terjadi, lalu tanyakan saja kepada "Panglima Wilayah" Aceh Utara saat ini. Penyelidikan polisi dan TNI bisa dimulai dari situ. Tidak perlu kemana-mana. Pada umumnya, peristiwa kekerasan di Aceh bersifat lokal, baik pelaku, korban maupun motifnya bersifat lokal, tidak kemana-mana.

Saya menduga, implikasi dari peristiwa ini akan sangat luas. Pendekatan persuasif yang selama ini dilakukan oleh TNI bisa berubah menjadi pendekatan keamanan. Pembunuhan prajurit baik TNI maupun Polri sangat jarang terjadi pasca MoU Helsinki. Dan peristiwa ini menjadi momentum kebangkitan aparat keamanan setempat untuk terus meningkatkan kewaspadaannya bahwa teror dan kekerasan masih menjadi ancaman di Aceh. Saya juga berharap aparat keamanan di Aceh khususnya TNI untuk tidak mudah terpancing emosi yang justru menggiring pada pelanggaran-pelanggaran yang tidak perlu.

SW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline