Lihat ke Halaman Asli

Sukir Santoso

pensiunan guru yang suka menulis

Pangeran Diponegoro

Diperbarui: 24 Agustus 2023   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

PANGERAN DIPONEGORO

Dalam Indahnya Cinta dan Perjuangan

Oleh : Sukir Santoso

Kisah indah Pangeran Diponegoro membuka tirai dalam pagi yang dipenuhi harapan, di tepi garis waktu yang diberkahi, pada tanggal 11 November 1785. Seperti sekuntum bunga yang kuncup merekah, bayi yang bakal mengukir sejarah terlahir dalam dekapan penuh kasih dari rahim seorang ibu mulia, Raden Ayu Mangkorowati, dan dalam cahaya nasihat seorang ayah yang dihormati, Raden Mas Surojo. Nama yang disematkan kepadanya, saat langit masih menyapukan warna merah muda pertama, adalah Raden Mas Mustahar, seperti bunyi getaran murni dari hati yang mencari jalan dalam rentang hidup yang belum terhampar.

Pergantian nama, seperti lembutnya alunan angin, datang menyapu namanya menjadi Raden Mas Ontowiryo, saat sang ayah naik takhta dan cahaya kerajaan menerangi langkah-langkah masa depannya. Gelar pangeran, yang bagaikan mahkota kehormatan, dianugerahkan kepadanya, dan kini ia diakui dan dipersembahkan sebagai Pangeran Diponegoro, seorang yang diukir dalam bingkai keagungan dan keteguhan.

Namun, seperti embun yang memutih dalam genggaman fajar, nama tersebut hanya sebagai permulaan dari simfoni kehidupan yang akan dijalani. Takdir, sang maestro yang merajut benang-benang tak kasatmata, bermain dengan indahnya. Melalui pergolakan waktu dan perubahan, Pangeran Diponegoro akan menjadi panggilan yang menggema dalam sejarah.

Ketulusan yang mengalir dalam tiap detik perjumpaan, seperti aliran sungai yang tenang di tengah hutan lebat, semakin memperkuat dan menguatkan ikatan suci yang diciptakan. Pangeran Diponegoro tak hanya menorehkan cerita tentang peperangan dan perlawanan, melainkan juga tentang kehangatan yang dibagikan bersama perempuan-perempuan yang mewarnai kehidupannya.

Dalam jejak langkahnya, Pangeran Diponegoro menunjukkan bahwa keberanian tak hanya ada dalam medan perang, melainkan juga dalam menyayangi dan memberi. Dengan cinta yang mekar di setiap silang percaturan hidupnya, ia mengajarkan bahwa seorang pejuang sejati adalah yang tak hanya berani menghadapi musuh di luar, namun juga mampu menghadapi kelemahannya di dalam, dan mengasihi dengan sepenuh hati.

Bayang-bayang waktu berjalan tak terelakkan, dan dalam setiap langkahnya, Pangeran Diponegoro merajut ikatan dengan perempuan-perempuan yang memberi warna dalam palet hidupnya. Namun, tak hanya tentang kepahlawanan dan perjuangan, namun juga tentang cinta yang melambungkan ruhnya. Pernikahan-pernikahan yang menjadi landasan kebahagiaan, seperti lembutnya dedaunan yang menyapa matahari pagi.

Dalam melangkah dalam lorong waktu yang berkelok, Pangeran Diponegoro menorehkan jejak-jejaknya bukan hanya sebagai seorang pejuang dan pahlawan, melainkan juga sebagai manusia yang menghanyutkan dengan kelembutan hatinya. Seperti aliran sungai yang merangkul lembut taman-taman rahasia, ia menjalin kisah-kisah suci dengan delapan wanita yang membaur dalam kanvas hidupnya, memberikan sentuhan warna yang tak terlupakan.

Pernikahan pertamanya, yang dipahat dalam ingatan waktu pada tahun 1803, adalah ikatan suci dengan Raden Ayu Retna Madubrongto, seorang putri yang dianugerahi gelar bangsawan yang menjulang tinggi. Dalam keanggunannya, ia membawa sejarah panjang dan keturunan yang mulia, seperti hulu sungai yang mengalirkan legenda dari masa lampau. Melalui pertemuan mereka, tak hanya tali pernikahan yang diikat, melainkan pula tali darah kebangsawanan yang mengalir dalam benak mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline