Lihat ke Halaman Asli

Sukir Santoso

pensiunan guru yang suka menulis

Regu Bom Tarik

Diperbarui: 23 Agustus 2023   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

REGU BOM TARIK

Oleh: Sukir Santoso

Cerpen berdasar kisah nyata dari pejuang

Di malam gelap yang penuh rintik hujan, suara cicadas dan gemericik air hujan melahirkan suasana yang tegang untuk regu bom Tarik di suatu sudut tersembunyi dari hutan Gunung Buthak. Tumin, Rabun, dan Abdul Manab berkumpul di bawah teduhan pohon nyamplung yang gagah berdiri di antara pohon-pohon jati. Wajah mereka penuh dengan kebulatan tekad dan semangat perlawanan  terhadap Belanda.

Pada tanggal 19 Desember 1948, pasukan Belanda yang kuat menduduki wilayah Yogyakarta dan mencoba mengambil alih pemerintahan. Tujuannya adalah untuk menghancurkan basis pemerintahan Republik Indonesia yang berada di bawah pimpinan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta.

Namun Agresi Militer Belanda yang kedua ini justru membuat semangat kemerdekaan masyarakat Indonesia di seluruh pelosok negeri, berkobar hebat.

Tumin, Rabun, dan Abdul Manab adalah sekelompok pejuang yang telah bersumpah untuk membela kemerdekaan yang baru saja direbut itu. Gunung Buthak dan Gunung Sepikul, dengan pepohonan lebat dan hutan-hutan yang menyelimuti, menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Setiap batang pohon dan setiap daun yang ditiup angin malam menyimpan cerita-cerita heroik mereka. Di tengah kesunyian hutan, regu ini merencanakan serangan berani terhadap pasukan Belanda yang berencana melewati jalan Srandakan menuju Brosot.

Di bawah cahaya korek api yang redup, mereka merapal rencana dengan seksama. Peta dari kertas lusuh terbentang di atas batu, ditandai dengan garis-garis dan titik-titik yang menandakan posisi pasukan Belanda dan rute yang akan mereka ambil. Tanda melingkar merah adalah posisi bom yang harus mereka pasang. Sementara titik yang lain merupakan tempat mereka siaga untuk menarik tali yang mereka pasang di pengumpil bom. Tempat itu adalah cekungan parit tersier yang terlindung dengan semak perdu.

Tumin, yang telah memiliki pengalaman ikut perang Ambarawa, berbicara dengan tegas, "Kita harus memanfaatkan medan yang sulit ini untuk menyelamatkan diri, andaikata pasukan Belanda mengejar kita."

Rabun mengangguk setuju, "Jika kita berhasil menghancurkan jembatan di Gunung Sepikul, itu akan membuat pergerakan mereka terhambat. Pasukan Belanda pasti akan mencari jalan lain, dan ini memberi kita kesempatan untuk membuat mereka terjebak."

Abdul Manab, yang dipercayakan menjadi komandan regu, menambahkan dengan penuh keyakinan, "Kita hanya memiliki satu kesempatan untuk melakukannya dengan benar. Setiap detik dan tindakan sangat berarti. Kita akan memasang ranjau tarik di jembatan itu dan menariknya saat pasukan mereka lewat. "

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline