Lihat ke Halaman Asli

Candi Baru Semarang, Jejak Permukiman Ekspatriat

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Udara sejuk akan menyapa begitu anda menaiki tanjakan Jl S Parman dari Rumah Sakit William Both. Pohon-pohon rindang tumbuh di kanan kiri ruas jalan, menaungi dari terik sinar matahari sekaligus memberi kesejukan bagi siapapun yang melintas. Dengan bangunan-bangunan tua yang masih berdiri kokoh di sisi kanan kiri jalan, kawasan Candi Baru menjadi sebuah kawasan yang terlalu sayang untuk sekedar dilintasi.

Pembangunan permukiman Candi Baru ditangani oleh Ir. Herman Thomas Karsten tahun 1916 yang diperuntukkan bagi kaum ekspatriat (orang orang Eropa di Indonesia) pada masa kolonial. Pemilihan daerah bukit Candi sebagai permukiman yang baru dikarenakan udaranya yang sejuk dan bersih, pemandangan alam yang menghadap ke laut dan daerah tersebut belum tersentuh urbanisasi. Sampai sekarang permukiman ini dikenal sebagai kawasan permukiman elit bagi masyarakat ekonomi atas.

Thomas Karsten dalam membuat permukiman Candi Baru tidak menerapkan konsep garden city secara murni, namun disesuaikan dengan keadaan Hindia Belanda pada saat itu yang disebut dengan konsep tropische staad. Penerapan konsep ini terlihat pada peletakan rumah, taman, dan ruang terbuka yang mengikuti kondisi tanah.

Perencanaan jalan mengikuti kontur mengingat berada di perbukitan. Dengan mengikuti bentuk kontur, maka jalan menjadi berkelok. Salah satu jalan berkelok di kawasan ini dikenal dengan jalan letter S (jalan Rinjani). Bentuk jalan juga menyesuaikan orientasi arah hadap kapling. Pembagian tanah dan arah jalan hanya terdiri dari dua ketegori yaitu jalan utama dan jalan sekunder dengan mengikuti kontur sehingga dari rumah tinggal serta taman umum, pemukim dapat menikmati view indah ke laut .

Khusus untuk rumah, pembangunannya diawasi ketat melalui Peraturan Tata Bangunan Kota. Aparat birokrasi pemerintah, betul-betul menegakkan peraturan, tak mau kompromi dalam menindak pelanggaran dan tak bisa disuap. Oleh karena itu, berdirilah rumah-rumah yang bentuknya sangat khas dan unik seperti bergaya klasik, oud indische stijl, art deco, dan gaya vila Eropa di alam tropis.

Karsten juga melengkapi permukiman Candi Baru dengan fasilitas kesehatan berupa Elizabeth Ziekenhuis (RS Elizabeth) dan Ooglijdershospital (RS Mata William Both), fasilitas pendidikan yaitu Van Deventer School dan Neutrale School Huevel, fasilitas olah raga berupa lapangan, tempat peribadatan yaitu gereja, taman yaitu Raadsplein (Taman Diponegoro) dan sarana dan prasarana penunjang seperti air, gas, kantor telepon, dan sarana transportasi untuk menghubungkan Candi Baru dengan Kota Semarang Bawah.

Thomas Karsten sangat memperhatikan keberadaan ruang terbuka hijau berupa taman-taman, karena memang ingin mengedepankan fungsi kawasan ini sebagai "kota taman". Beberapa taman skala lingkungan maupun skala kota dapat dijumpai di sekitar jalan Merapi, jalan Dieng, sekitar makam Belanda, taman Diponegoro, dan taman lain dalam skala yang lebih kecil.

Saat ini, jejak permukiman ekspatriat Candi Baru mulai berubah. Banyak diantara perumahan golongan masyarakat ekonomi atas dialihfungsikan untuk hotel, pompa bensin, rumah makan serta usaha lain, akibatnya halaman dan taman yang asri sebagai ruang terbuka menjadi lenyap.

Candi Baru bukan hanya tak terkendali, tetapi kenyataannya berubah fungsi dari kawasan hunian menjadi kawasan campuran antara hunian, perkantoran dan kegiatan usaha hingga saat ini. Jalan-jalan pun lebih mirip sebagai tempat parkir liar. Jadi tidak usah heran jika di antara rumah-rumah mewah Candi Baru, kini menyelip juga perkantoran, rumah makan, bank, ponpa bensin dan dealer kendaraan.

Candi Baru merupakan kekayaan warisan budaya arsitektur bangunan kolonial yang modern,dan tropis yang semestinya harus dilindungi. Berbagai tipe bangunan hunian dengan berbagai ukuran dan gaya berbeda melatarbelakangi sejarah panjang kota taman ini. Candi Baru tampaknya dibiarkan "berkembang", dan dilibas oleh kaum pemodal yang mengubah kapling dan bangunan untuk dijadikan sarana berdagang. Perlahan kita telah "membunuh" benang merah jejak kekayaan sejarah permukiman zaman dahulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline