Saat ini aku mulai aktif lagi di Kompasiana. Setidaknya Kompasiana mengajakku hidup lebih bermakna. Tak peduli mutu tulisanku, aku merasa termotivasi. Aku selalu dihargai dengan kenaikan poin.Walau tulisan masih sederhana di blog ini, aku tidak pernah dibuli. Kadang --kadang aku juga heran dengan tulisanku biasa-biasa saja: diberi komentar katanya menarik dan menginspirasi. Inilah bukti kompasiana diisi oleh orang orang yang tidak sombong dan baik hati. Lebih jauh lagi, di sini unek-unek, kisah masa lalu dan segala dendam positif terbayarkan. Lalu dendam positif apa yang kurasakan?
Menuju "unforgettable memory" ku, aku dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana. Jauh dari kecukupan. Aku lahir dari pasangan petani di salah satu pelosok desa Wonogiri. Ortuku belum pernah mengenyam sekolah sama sekali, alias buta huruf. Dari masa sekolah sampai kuliah, saya belum pernah ditanya tentang kondisi sekolahku, nilainya seperti apa, gurunya seperti apa dll. Pikiran ortuku sederhana salah satunya. "sing penting urip bagas waras ojo seneng ngrugekke liyan" ( yang penting hidup sehat jangan suka merugikan orang lain.
Aku yakin ortuku blank tentang konsep pendidikan anak. Lalu,bagaimana aku bisa membaca , menulis , iqro Alquran lumayan lancar? Inilah hikmah ikut ikutan aktif di langgar atau surau dekat rumah. Aku bisa lancar baca tulis Al quran dan shalawatan. Dari remaja pun aku sudah berkesimpulan bahwa ortu ku belum bisa sebagai pendidik andalan. Aku butuh keajaiban dari Tuhan. Pendidik sejatiku adalah Tuhanku Allah swt melalui jasa guru dan ustadz ngajiku.
Sampai usia SMP aku masih aktif di kegiatan surau. Yang terasa sampai masuk ke dalam pikiranku nasihat dari guruku: " Demi waktu, manusia dalam kerugiaan, kecuali orang yang beriman dan beramal sholeh..dalam kebaikan". Juga nasihatnya yang lain: " Akan diangkat derajat seseorang bila mereka beriman dan berilmu...".
Setelah menyimak nasihat guru ngajiku, sering aku termenung: Tanpa ilmu, tanpa amal kebaikan, tanpa derajat. Akhirnya aku semakin termotivasi untuk mau menuntut ilmu, melalui berbagai cara. Aku tipe anak rajin belajar dari sumber buku seadanya.
Setelah lulus SMP, ortuku tidak mampu membiayaiku melanjutkan sekolah. Bisa makan saja Alhamdulillah. Maklum ladang tandus hanya bisa ditanami singkong. Padahal sebenarnya aku lumayan berprestasi, pernah di peringkat 2 saat di SMP. Sedih sebetulnya, rasanya semangat belajarku sia-sia.
Salah satu mapel andalanku bahasa Inggris. Kalau prestasi bahasa Inggris, Insya Allah saya yang terbaik di kelasku. Teknik belajarku sederhana: menghafal. Ini karena saking semangatnya dalam menghafal rumus tenses dan kosa kata. Kala itu, hampir setiap saat menggembala kambing aku bawa buku salah satunya buku bahasa Inggris.
Semangatku belajar luar biasa, harapanku salah satu dari kakakku ada yang merasa iba dan mau membiayaiku .Ternyata benar. Salah satu kakakku menghampiriku dan menyatakan sanggup membiayaiku masuk SMA di kota kecamatan dekat kampungku. Sayangnya tahun depan. Sabar, aku harus bersabar satu tahun menunggu. Di masa penantian, kumanfaatkan untuk membantu kerja ortu di ladang, dan kadang cari ikan di sungai dekat waduk Gajah Mungkur Wonogiri.
Satu tahun tanpa kegiatan sekolah. Harapan bersekolah hanya tinggal harapan. Setahun aku menunggu. Kata kakakku tidak ada beaya untuk sekolahku. Harapan bersekolah SMA putus. Setelah proses kami bernegosiasai, diputuskan aku diajak merantau ke Solo.
Di Solo, berbagai pekerjaan kujalani: kuli bangunan, OB, dan penjual Koran. Alhamdulillah, akhirnya aku memiliki pelanggan Koran. Loper Koran kulakukan setelah sholat shubuh. Penghasilan dari loper Koran ternyata lumayan. Akhirnya kuputuskan sekolah lagi di SMA dengan biaya sendiri dari hasil Koran.
Alhamdulillah, tiga tahun selesai dari SMA. Saya berniat melanjutkan kuliah melalui UMPTN. Tahun pertama gagal. Masih Idealis mengambil grade tinggi. Tidak putus asa, kerja dan kerja lagi menabung untuk kuliah tahun depan. Tahun kedua , aku lolos UMPTN jurusan FKIP bahasa Inggris. Tetap beaya sendiri, selama kuliah aku juga sebagi guru