Lihat ke Halaman Asli

Maskatno Giri

🌄©Mas Guru B.INGGRIS SMA,The Alumnus of English P PS UNS SURAKARTA

"Child Free Solution" Bukan Pilihan

Diperbarui: 2 September 2021   07:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Begitu ada pernyataan "Child Free Solution" saya tersentak dan bersemangat  mau berkisah tentang masa lalu saya, karena saya pernah memiliki keputusaan "child free".  Saat muda  saya memaksakan diri berlatih siap-siap ikhlas dengan tidak memiliki anak. Karena saat itu saya merasa   bahwa saya bukan pria normal, seperti sebagaimana pria pada umumnya. Bukan tanpa alasan, saat remaja saya belum pernah merasakan mimpi basah. Tidak tahu kenapa. Faktor kejiwaan atau fisik.

Keyakinan saya  dan sepengetahuan saya sebagai kenormalan umum bahwa mimpi basah pertanda sebagai laki laki normal dan  balig. Kedua, saya adalah lelaki minder. Penyebanya banyak: kemiskinan, wajah dan kecerdasan pas-pasan. Karena saking mindernya saat remaja pun  saya tidak berani naksir cewek.

Perlu pembaca ketahui bahwa saya adalah  produk pendidikan pengajian yang  ketat dalam menjaga pergaulan.  Saya belum pernah berpacaran, bahkan saya belum pernah berboncengan dengan wanita selain makhrom sampai saya rampung kuliah.

Lulus kuliah lalu menikah. Tak terasa usia pernikahanku sudah lebih dari 20 tahun. Keputusan dan keyakian saya sebagai "Child free" batal.  Kini, saya telah dikaruniai 4 anak. Anak pertama sudah kuliah di PTN Solo. Anak kedua meninggal saat umur 10 tahun. Masih misteri penyebab kematiannya. Masih teringat di benak saya: Lili Khoirul Amaliah anak rajin, juara 1, dan cantik. Hari Kamis masih masuk sekolah, hari jumat meninggal saat dibawa ke RS. Anak ketiga kls X SMA dan yang terakhir kls 4 SD. Menurutku diamanati 4 anak itu anugerah , diluar dugaan dan rencana saya saat muda . Maksudnya , saya merasa kok tahu-tahu diberi amanah banyak anak?

"Just an  unforgettable memory": setelah lulus dari FKIP b. Inggris  PTN SOLO September 1998, 17 Desember 1998 saya dijodohkan dengan salah satu murid seorang ustadz, beliau kakak ipar saya. Karena pertimbanagan kemanusiaan: ibu saya sakit, saya anak terakhir yang harus merawat ibu. Kupaksakan diri "bismillah" saya menikah dengan gadis yang belum pernah kukenal. Jujur saja saya menikah agak terpaksa dan ragu-ragu. 

    Skenario Allah   SWT,  dua bulan setelah menikah istri tidak mens, setelah dicek oleh dokter dinayatakan hamil. Saya merasa ini mimpi. "Saya akan memiliki anak. Ya Allah !! Alahamdulillaah ini amanah" .

       Setelah menikah saya merasa bahagia. Semakin bahagia rasanya  kami diberkahi dengan   kehadiran anak sehat  dan normal , yang  lahir di  November 1999. Keyakinan saya  bahwa " The real Scenario maker" adalah Allah SWT, Tuhan yang Maha Kuasa. Manusia tidak mampu dan kuasa membuat anak. Sejatinya saya sebagai manusia lemah. Kemampuan saya sekedar berencana.

       Bagi Anda  yang memiliki "Chlid Free Solution" terserah Anda. Namun, solusi dan kehendak kita pun bisa berubah , sebagai mana waktu juga berjalan dan berlalu. Hati dan pikiran kita pun bisa berubah. Sering hidup disimpulkan sebagai pilihan. Namun, saya merasakan  sendiri bahwa saya sering  dipilihkan yang lebih baik. Menurutku Life is not our choice.  Saya tidak punya daya untuk memilih hidup, juga tdk berdaya menolak untuk menikah dengan seorang wanita dengan niat demi Ibu. Saya dipilihkan oleh Allah yang terbaik menurutNya. Allahu a'lamu bishawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline