Lihat ke Halaman Asli

Beginilah Cara Berbagi Yang Baik

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang teman yang baru pertama berkunjung ke Amsterdam Belanda mencoba berjalan jalan di dekat stasiun sentral, karena tidak jauh dari sana banyak kedai kopi. Ia mencoba disalah satu kedai kopi yang terlihat cukup rapi, dan memesan 1 cangkir kopi. Tidak berapa lama datang pengunjung lain sebut saja bapak A yang juga memesan kopi, ternyata bapak A tersebut memesan 3 cangkir kopi, teman saya heran untuk apa memesan 3 cangkir kopi sekaligus ? ternyata bapak A hanya mengambil satu cangkir tetapi mebayar untuk 3 cangkir, 2 cangkir kopi yang lainnya ternyata ditangguhkan/dititipkan di kedai kopi tersebut.

Dititipkan ? untuk apa ? Tidak berapa lama datanglah bapak B yang sudah agak tua dengan pakaian agak lusuh menghampiri pelayan kedai kopi, bapak B bertanya kepada pelayan, apakah ada kopi yang dititipkan ? teman saya masih belum paham, kenapa bapak B yang baru saja datang menanyakan kopi dititipkan ? dan ternyata sang pelayan menganggukkan kepala kepada bapak B sambil menunjuk papan yang ada tulisan “Suspended Coffees 35”, menandakan apa yang diminta bapak B tersebut memang ada dan masih tersedia 35 cangkir kopi titipan. Setelah menunggu sebentar bapak B menerima secangkir kopi, dan tidak terlihat bapak B merogoh kocek untuk membayar secangkir kopi yang di minumnya.

Agar tidak penasaran, akhirnya teman saya memberanikan diri untuk bertanya kepada sang pelayan, apa sebenarnya yang baru saja dilihatnya ? Ternyata dibeberapa Negara di Eropa sudah lama memberlakukan cara berbagi seperti ini. Dulu, saat Eropa di landa krisis ekonomi paska perang Dunia ke dua, banyak sekali terjadi pemutusan hubungan kerja diantara para buruh. Akibatnya pengangguran merajalela dan cenderung meningkat, keadaan ekonomi Eropa saat itu benar benar kacau. Bahkan seseorang sampai tidak cukup mampu hanya sekedar membeli secangkir kopi untuk menghangatkan badannya saat musim dingin tiba. Dari kejadian tersebut dipetiklah hikmahnya, rasa kasian terhadap sesame mulai bermunculan, rasa empati di tunjukkan dengan cara menitipkan kopi bagi orang lain yang memerlukan kehangatan di kedai tersebut. Intinya mereka yang mempunyai rejeki lebih, sudah selayaknya terpanggil hatinya untuk berbagi kepada yang kekurangan, sehingga apabila ada orang yang tidak punya uang dan mereka kedinginan, orang tersebut bisa menghangatkan badannya dengan minum kopi yang dititipkan dan sudah dibayar oleh orang lain. Hebatnya baik yang menitipkan maupun kedai yang dititipi kopi tersebut bisa saling percaya.

Sebenarnya inilah cara berbagi yang baik dan iklas, karena yang membagi tidak pernah tahu kepada siapa mereka berbagi, dan yang menerima juga tidak pernah tahu dari siapa kopi yang mereka minum berasal. Seandainya hal serupa juga diberlakukan di Indonesia dimana banyak sekali Warteg (warung Tegal), warung padang dan warung lain yang bisa membeli dengan cara dititipkan, maka akan banyak saudara kita yang kurang beruntung dan kelaparan bisa makan diwarung yang mempunyai makanan dititipkankan, dimana orang lain sudah membayar makanan tersebut. Kuncinya hanya satu “kejujuran”, bagi pengelola kedai, apakah makanan yang dititipkan kepadanya benar benar amanah ? benar benar disimpan dan tidak dijual ke orang lain ?. Sebaliknya, apakah orang yang memanfaatkan makanan yang dititipkan ini bener benar orang yang tepat sasaran dan benar benar orang tidak mampu ?, ataukah orang yang hanya mencari gratisan belaka. Walaupun tidak mudah, tidak ada salahnya dicoba. Departemen Sosial bisa mengajak warteg, warung Padang atau warung lainnya untuk uji coba melakukan makan yang dititipkan ini. Kenapa mesti melibatkan institusi ?, karena di Jakarta khususnya atau Indonesia secara umummasih banyak masyarakat kelas marginal, sehingga di kawatirkan akan sangat banyak orang yang akan mengambil titipan dari pada yang menitip makanan di warung tersebut. Jika hal ini terjadi, maka dalam hal ini Departmen Sosial bisa menalangi terlebih dahulu kelebihan makanan yang diambil oleh kelompok marginal tersebut. Namun jika yang mengambil titipan jumlahnya meningkat terus sehingga jumlah yang menitipkan makanan jauh tertinggal, dan menunjukkan kecenderungan makin kurang baik, maka uji coba ini sebaiknya dihentikan. Karena kalau hal seperti itu yang terjadi, tidak ubahnya Department Sosial hanya berbagi nasi bungkus. Padahal yang diharapkan adalah berbagi yang hasanah, dimana si pemberi tidak tahu kepada siapa akan diberikan, demikian juga yang menerima tidak tahu dari siapa ia menerima kebaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline