Lihat ke Halaman Asli

Suka Ngeblog

TERVERIFIKASI

Penulis buku, terkadang menjadi Pekerja Teks Komersial

Bonek, Maaf, Modal Nekat Saja Kini Tidak Cukup

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13907968331708663338

[caption id="attachment_308548" align="aligncenter" width="544" caption="Demo Bonek (tribunnews.com)"][/caption]

SUATU hari di tahun 1989, dua klub elit Indonesia, Persija dan Persebaya Surabaya bertarung di Jakarta. Dan sesuatu yang tidak lazim terjadi. Belasan ribu pendukung Persebaya ramai-ramai bertolak ke Jakarta. Para pendukng menggunakan kereta api sebagai sarana transportasi, dengan uang yang sangat minim. Sebagian besar uangnya pas-pasan.

Aksi para pendukung Persebaya yang mendukung tim pujaannya dengan modal pas-pasan, bahkan sebagian hanya bermodalkan nekat, tercium oleh media. Dan keluarlah istilah "bondho nekat", hanya bermodalkan nekat. Belakangan, istilah bondho nekat (yang disingkat menjadi bonek) menjadi semacam identitas untuk para pendukung Persebaya. Bonek adalah suporter yang mendukung hanya dengan modal nekat, plus cinta setinggi langit.

Bertahun kemudian, bonek menjadi bagian dari wajah sepak bola Indonesia. Berbagai cerita bermunculan. Sebagian bernuansa positif, sebagian lagi negatif. Misalnya, saat itu, masyarakat di sepanjang jalur kereta api yang dilewati para bonek sering menderita karena menjadi sasaran lemparan batu dari "oknum" bonek.

Aksi pembalasan pun bermunculan. Ketika rombongan bonek dalam perjalanan pulang kembali ke Surabaya, masyarakat ramai-ramai melakukan "sambutan selamat datang" dengan lemparan batu. Cerita negatif bonek juga muncul seputar perilaku mereka pada pedagang kecil. Karena hanya bermodalkan nekat untuk nonton sepak bola dan umumnya sama sekali tidak membekali diri dengan uang, mereka pun menyantap jajanan kecil milik masyarakat tanpa bayar.

Dukung Persebaya 'Asli'

Ketika terjadi konflik di Persebaya, mayoritas bonek mendukung Persebaya 1927, yang diklaim sebagai Persebaya yang asli karena diperkuat pemain asli Persebaya. Persebaya 1927 didirikan sebagai protes kepada PSSI yang dengan licik melempar Persebaya Surabaya ke Divisi Utama. Persebaya 1927 akhirnya tetap berlaga di kasta tertinggi dan berkompetisi di IPL, yang karena perubahan rejim di PSSI merupakan kompetisi resmi.

Di pihak lain, ada klub dengan nama Persebaya Surabaya yang akhirnya bermain di Divisi Utama, di bawah bendera ISL yang saat itu dianggap sebagai liga ilegal. Persebaya Surabaya yang berlaga di Divisi Utama (saat itu populer dengan istilah Persebaya DU) menggunakan logo resmi Persebaya yang puluhan tahun sebelumnya ikut mendirikan PSSI.

Angin perubahan kemudian terjadi di PSSI. Atas titah FIFA, digelarlah Kongres Luar Biasa yang pada akhirnya memutuskan adanya penyatuan liga. Bahwa semua klub yang berkompetisi di ISL otomatis akan berlaga di liga versi baru, bersama empat klub terbaik IPL. Kongres itu juga memutuskan bahwa semua klub kembar tidak diakui keberadaannya. Klub kembar itu adalah Arema, Persija, PSMS dan Persebaya versi IPL.

Selepas kongres, dampak atas putusannya belum terasa. IPL masih berjalan. Hingga kemudian PSSI melakukan intervensi. IPL dihentikan dan penentuan klub mana yang akan berlaga di kompetisi versi baru ditentukan lewat play off. Dalam play off ini, klub-klub kembar tidak diberi tempat.

Protes pun muncul dari para bonek yang merasa Persebaya 1927 seharusnya diberi tempat di ISL musim 2014 karena klub itulah yang asli. Nyaris bersamaan dengan protes para bonek, terungkap kabar bahwa para pemain Persebaya 1927 ternyata sudah berbulan-bulan tidak menerima gaji.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline