Saya terkesan membaca tulisan mbak Oky Madasari seorang Autor asal Sukomoro Magetan yang saat ini tinggal di Singapore. Menjadi dosen di National University Singapore sekaligus menyelesaikan program beasiswa Doktoral disana. Kebetulan saya mengenalnya saat dua kali mengisi acara kegiatan literasi dan Mbulan Ndhadhari. Terlebih rumah kediaman mbak Okky panggilan saya kepada beliau, sebelah sekolah tempat saya bekerja. Saya pun sering ngobrol dengan kedua orang tuanya. Dari situ saya tertarik dengan membaca tulisan-tulisannya.
bersama Okky Madasari usai acara Mbulan Ndhadhari di Pendapa Suryagraha
Terakhir saya membaca ulasan menarik mengenai teknologi ChatGPT yang sedang santer dibincangkan publik. ChatGPT adalah mesin pengolah bahasa yang dikembangkan oleh perusahaan pengembang teknologi kecerdasan buatan, OpenAI. Sebagai mesin percakapan yang bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pengguna, termasuk melakukan apa yang diminta oleh pengguna.
Berkenaan profesi mbak Okky juga penulis tentu memiliki pandangan terkait nasib penulis ketika sudah ada alat kecerdasan buatan yang bisa mengerjakan pekerjaan penulis dan masa depan ilmuan dan akademisi. Belakangan ChatGPT sedang menggelayuti benak banyak penulis, bersamaan lahirnya teknologi yang akan membantu mengatasi kesulitan dalam menulis, ada kecemasan bahwa keahlian menulis tak lagi dibutuhkan, sudah ada teknologi ChatGPT sehingga manusia tak perlu repot untuk menulis. Seperti yang saya baca ChatGPT mampu menulis teks pidato, manajemen tugas, meringkas teks panjang, memecahkan soal matematika yang komplek dan lain sebagainya.
Terlebih era saat ini banyak pekerjaan digantikan dengan mesin. Mbak Okky menyoroti tukang sapu dan tukang pel sekarang sudah diganti dengan robot. Teller bank sudah berkurang jumlahnya karena mesin ATM dan internet-banking telah bisa melayani hampir semua kebutuhan nasabah.
Lalu saya teringat, teknologi yang tengah dikembangkan pihak Kepolisian berupa kamera tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) agar dapat mendeteksi pengendara yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Ketika pekerjaan teknis bisa digantikan dengan teknologi, tentu teknologi juga tidak mustahil bisa menggantikan pekerjaan penulis.
Dalam ulasan berikutnya mbak Okky mengajak pembaca untuk menjawab sebuah pertanyaan. Bagaimana jika ChatGPT dimanfaatkan untuk membantu menulis?
Jawabannya ChatGPT sangat bisa diandalkan dalam meramu fakta menjadi sebuah tulisan yang baik. Percobaan yang telah dilakukan mbak Okky dengan ChatGPT ini Misalnya, mbak Okky bertanya: Apakah Indonesia adalah negara demokrasi? ChatGPT menjawab: Ya, Indonesia adalah negara demokrasi, diikuti dengan penyebutan keberadaan institusi-institusi yang menopang prinsip sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Sebagai penutup, ChatGPT pun menyebut bahwa seperti halnya negara lain, Indonesia juga memiliki tantangan dan kendala dalam menjalankan sistem demokrasinya, misalnya soal hak asasi manusia dan kebebasan pers.
ChatGPT menyajikan jawaban yang tidak salah, ditulis dengan runtut, dan kaidah bahasa yang baik. Namun, apa yang tertulis itu hanyalah informasi umum yang sifatnya normatif belaka. Bagi anak sekolah yang punya PR dari guru untuk menjawab pertanyaan itu jawaban dari ChatGPT ini sudah cukup memadai. Demikian juga untuk pejabat yang butuh menulis pidato sambutan, tulisan dari AI ini tentu sudah terasa keren. Lain halnya jika yang diharapkan adalah sebuah tulisan yang menyajikan analisis kritis.
Contoh yang lebih nyata ketika mbak Okky meminta ChatGPT untuk menulis puisi. Mbak Okky melakukan empat percobaan dengan empat tema berbeda. Pertama, meminta ChatGPT menulis puisi tentang pagi, lalu tentang hujan, tentang luka hati, dan tentang polisi.
Menurut mbak Okky yang tersaji adalah puisi-puisian; rangkaian kata dan kalimat yang ditata serupa puisi, tapi sama sekali tak merepresentasikan apa itu puisi. Tentu saja puisi-puisi ala AI ini sudah mencukupi untuk umumnya tugas sekolah. Namun, dari puisi-puisi ala AI ini, tak akan kita dapat dampak seperti dari puisi-puisi Rendra atau perasaan jleb seperti saat membaca puisi Sapard Djoko Damono, yang menjadikan puisi sebagaimana karya sastra dan karya seni lainnya.