Deretan penampilan fenomenal wayang godhong yang sarat akan makna akan berbagai isu kemanusiaan di dunia telah bertambah. Pada hari Kamis tanggal 23 November 2023, Profesor Dr. Agus Purwantoro, M.Sn., Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, tampil dalam acara yang bertajuk "Gemah Ripah Loh Jinawi". Acara tersebut dilaksanakan di Gedung Pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUI) Javanologi UNS, tepatnya berada di Pendapa R. Ng. Yasadipura. Merupakan suatu kehormatan bagi seluruh peserta acara 5th Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions (ICIR) 2023 untuk menyaksikan pertunjukan Wayang Godhong yang unik dan menawan.
Dalam bahasa jawa, "godhong iku nyadong" yang artinya dedaunan itu menengadah. Nyadong diibaratkan seperti memohon atau berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua dedaunan menengadah keatas, tidak ada daun yang terbalik. Seperti halnya manusia, dedaunan juga berdzikir ditengah hembusan angin. Akar dalam bahasa jawa "oyot" dimaknai sebagai ayat, yang merupakan pedoman kepercayaan manusia dalam menjalani kehidupan. Begitulah tafsir wayang godhong yang selalu dikumandangkan oleh Gus Pur sebagai narasi membuka penampilan Wayang Godhong. Diiringi dengan tabuhan instrument tradisional seperti gendang, jimbe, dan juga suling bambu yang berkolaborasi dengan instrument modern gitar listrik, pertunjukan wayang godhong membentuk suatu atmosfer yang harmonis dan selaras kaya akan filosofinya.
Ayat wayang godhong yang dibawakan kali ini mengambil tema "gemah ripah loh jinawi". Peribahasa tersebut adalah sebuah ungkapan tentang kesuburan dan ketentraman suatu negara dengan segala sumber daya yang dimilikinya. Namun di dalam tema ini juga memuat bentuk-bentuk keprihatinan pada generasi muda yang dalam hidupnya seakan telah putus dengan tradisi. "Jowo ilang jawane, wayang ilang gapite" begitulah ungkapan Gus Pur untuk mendiskripsikan keadaan generasi muda sekarang yang tak mengenal asal usul budaya mereka sehingga berpotensi kehilangan jati diri. Gus Pur sebagai pemerhati dan penggiat kearifan lokal, senantiasa berharap semoga pertunjukan wayang godhong kali ini bisa menjadi sebuah catatan budaya untuk seluruh audience yang turut hadir. Tak lupa, sisipan doa untuk penyemangat bagi segala impian para generasi muda juga turut dilangitkan dalam penampilan wayang godhong, dengan penuh energi positif.
Tema wayang godhong selalu menyisipkan kritik atau keprihatinan tentang isu-isu terkini kemanusiaan. Pada pentas kali ini, wayang godhong mencoba menarik benang merah dari isu kemanusiaan yang terjadi di Palestina. Fenomena genosida di palestina berupa pembunuhan kejam oleh para zionis Israel yang memakan korban termasuk banyak anak-anak, diibaratkan seperti daun batang dan daun muda yang ditebang paksa dan tidak bisa melawan. Dalam siklus hidup dedaunan, daun yang tua akan gugur dan mati atas izin-Nya, dan kembali ke tanah, menjadi pupuk untuk menyuburkan tanah itu sendiri. Namun yang terjadi di tanah Palestina, banyak daun-daun muda itu terpaksa harus mati sebelum berkembang. Ayat wayang godhong ini merupakan filosofi bentuk keprihatinan atas nama kemanusiaan kepada korban genosida Palestina yang tidak lagi mampu merasakan kemakmuran dan ketentraman di negaranya sendiri.
Secara keseluruhan, penampilan wayang godhong menyajikan sebuah pengalaman berbudaya yang unik dan menyegarkan. Gus Pur bersama kawan-kawan musisi yang menemaninya, mampu menghadirkan suasana yang rileks disertai canda tawa namun bermuatan nilai-nilai kehidupan yang praktikal. Dengan tanpa meninggalkan tradisi, wayang godhong mampu mengangkat dan menyuarakan isu-isu terkini yang harus dihadapi manusia secara global, menjadi suatu bentuk empati sosial yang berperikemanusiaan. Penampilan wayang godhong ditutup oleh pertunjukan instrumen tradisional suling bambu yang dimainkan bersama-sama oleh para mahasiswa.
(Kinanti Erste)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H