Terawang Jakarta Dari Pinggir Rel
Tanggal 21 April 2004, bertepatan dengan peringatan Hari Kartini saya mendapat tugas di Ibu Kota, Jakarta setelah 4,5 tahun sebagai Kepala Humas PT. Kereta Api Indonesia (Persero) -- KAI Daop 2 Bandung. Saya mendapatkan promosi menggantikan alm Zaenal Abidin sebagai Kepala Humas Dao 1 Jakarta sebelumnya.
Sebagai komunikator perusahaan untuk wilayah Daop 1 Jakarta, tentu merupakan orang terpilih dan harus membaca kondisi perusahaan, namun tak satu pun kondisi perusahaan dapat dikespose menjadi berita baik untuk membangun citra perusahaan.
Tahun 2004, kondisi Jakarta, khususnya di lingkungan perkereraatapian masih sangat buruk. Kondisi stasiun dipenuhi pedagang. Sementara di atas kereta api selain sebagai sarana angkutan juga menjadi sarana mencari nafkah para pedagang asongan bahkan copet, jambret lebih mudah mencari nafkah di kereta, baik kereta KRL Jabodetabek maupun kereta api antar kota yang kondisinya masih amburadul.
Ketidaktertiban kereta api bukan hanya terjadi di stasiun dan di atas kereta api antar kota dan KRL saja, namun kondisi lingkungan jalan rel juga sangat mengancam keselamatan perjalanan kereta api maupun keselamatan pengguna jasa. Bangunan gubug-bugub liar di pinggir rel jarak bodi kereta dengan atap rumah hanya sekitar setengah meter, sehingga bila ada penumpang mengeluarkan anggota badan, dipastikan terkena atap rumah.
Daop 1 Jakarta saat itu menjadi wilayah terkumuh karena dikelilingi oleh puluhan ribu bangunan gubuk liar di sekitar rel disepanjang jalur lingkar Jakarta mulai dari Stasiun Jatinegara-Pasar Senen-Kemaroyan-Kampung Bandan-Angke-Duri-Tanah Abang-Manggarai-Jatinegara. Jakartakota-Tanjung Priok. Tanahabang-Serpong dan Jatinegara-Bekasi juga dipenuhi bangunan liar, tak terkecuali di bawah jalan layang KA antara Manggarai-Jakarta Kota juga super kumuh.
Daop 1 memiliki pasar di tangah rel, Pasar Gaplok menjelang masuk Stasiun Pasar Senen dari arah Jatinegara. Juga Pasar Duri yang dikelola preman dan oknum internal. Di pinggir rel, kondisi lingkungan juga di dijadikan daerah prostitusi kelas bawah dintaranya, di Gunung Antang antara Manggarai-Jatinegara. Gunung Intan antara Angke-Duri. Pela-pela di Stasiun Tanjung Priok. Dan di Bongkaran di Tanah Abang.
Hingga saat ini di pinggir rel masih tersisa tempat prostitusi dan tempat hiburan pinggir rel di Gunung Antang, Gunung Intan, dan Bongkaran Tanahabang yang bila malam hari kita lewat, suara musik dangdut menggema, meskpiun mereka lebih sedikit dan menjauh dari rel kereta. Sedangkan tempat prostitusi Pela-pela Tanjung Priok sudah hilang ditertibkan PT KAI pada 2007 menjelang peresmian pengoperasian kembali jalur Tanjung Priok-Jakarta Kota yang peresmianya dilakukan oleh Presiden SBY.
Meskpiun hingga saat ini tempat hiburan malam yang dilengkapi pula prostitusi di pinggir rel masih ada, namun jumlahnya sudah sangat berkurang. Mungkin hanya tersisa sekitar 15 % dibanding tahun 2006 ketika mulai dibersihkan oleh jajaran PT KAI waktu itu dibawah komando Kadaop 1 Yudarso Widyono dan Kadiv Jabotabek Tating Setiawan.
PT KAI saat itu tidak mampu berbuat banyak, menertibkan. PT KAI saat itu takut dengan kondisi lingkungan yang sangat kumuh dan penuh risiko bila menyentuh ke ranah tempat bencoleng dan preman ganas di bermukiman kumuh yang juga tempat jambret tinggal dan aneka profesi kejahatan di ibu kota. PT KAI saat itu tidak mampu untuk berbuat.
Orang-orang PT KAI saat itu acuh dengan kondisi lingkungan karena beratnya masalah kondisi yang membuat tidak berdaya. Namun bagaimana saat ini PT KAI pelayannya bisa baik dan lingkunganya steril dan indah? Berikut tahapan penertiban yang dilakukan PT KAI oleh generasi perubahan sejak tahun 2004 hingga 2009 yang dilanjutkan Ignasius Jonan hingga sejak 2009- 2013 silam.