Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Sujadi

Enterpreneur

Kereta Api Bandara dan Problematika Hunian Pinggir Rel

Diperbarui: 3 April 2018   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KA BSH (Ft. Kompas.com)

Kebakaran hunian di pinggir rel di dekat Stasiun Taman Kota pada Kamis (29/3) sempat melumpuhkan perjalanan KRL Duri-Tangerang dan KA Bandara Soekarno Hatta (BSH) yang baru 3 bulan beroperasi. Mungkinkah KA BSH perlu diruwat agar berbagai rintangan perjalanan KA penghubung dari Manggarai-Sudirman Baru-Tanahabang-Duri-Batu Ceper ke  BSH dapat  lancar tanpa rintangan  dalam beroperasi?

Sejak diluncurkan pada kahir Desember 2017 yang menghadirkan kepala negara Presiden Jokowi dalam peresmian, sudah tercatat 3 kali KA BSH mengalami gangguan perjalanan. Pertama ketika underpass ambruk. Kedua ketika perjalanan KA BSH tiba-tiba mati dan semoga ini yang terakhir. Ketiga,  KA BSH terganggu perjalannya akibat kebakaran di pinggir rel KA di daerah Taman Kota, Jakarta Barat.

Rintangan perjalanan atau sering disebut dalam istilah perkeretaapian Rinja adalah segala sesuatu yang mengakibatkan suatu kereta api tidak dapat melewati daerah tertentu karena berbagai sebab seperti  bencana alam, teknis dan berbagai hal sehinggan operasi KA harus dihentikan untuk menghindari peristiwa yang lebih besar atau untuk menjaga keselamatan perjalanan kereta api (Perka).

Musibah kebakaran sudah pasti tidak diinginkan semua pihak. Kebakaran di Jakarta hampir setiap minggu terjadi di berbagai wilayah, dan umumnya musibah kebakaran terjadi di daerah padat penduduk yang mohon maaf rumah-rumahnya saling berhimpitan dengan bangunan semi permanen. Dari ratusan hunian di Jakarta beberapa daerah berpotensi kebakaran berada didekat rel KA, sehingga potensi kebakaran pada hunian pinggir rel sangat besar.

Bangunan yang berdempet rapat dengan  instalasi listrik tak teratur dan safety tak dapat  menjamin musibah  kebakaran tidak  terulang. Kebarakan di pinggir rel di lintas Jakarta sudah seringkali terjadi dan hampir selalu berdampak terhadap Perka, baik KA antar kota, KRL, termasuk KA Bandara BSH pada kejadian terakhir  di lintas Duri-Tangerang yang juga dilalui KA BSH.

Hunian di pinggir rel masih menyisakan problem bagi Jakarta. idealnya hunian pinggir rel dan hunian di pinggir sungai ditata dan menjadi prioritas gubernur DKI Jakarta. wajah pinggir rel dan wajah pinggir sungai harus dijadikan muka bukan terus dibelakangi. Siapa pun yang memimpin Jakarta jangan hanya melihat ibu kota dari Jalan Sudirman-Thamrin, namun lihat, saksikan dari atas KA dan dari perahu karet melintasi Sungai Ciliwung di Jakarta.

Dengan melihat secara langsung, pimpinan dan segenap tim di belakangnya akan mampu menata Jakarta lebih baik dalam lima tahun ke depan. Penataan pinggir rel sangat urgen, mengingat di Jakarta daerah hunian pinggir rel tidak hanya membuat kekumuhan lingkungan, namun juga berpontensi mengancam keselamatan Perka. Daerah pinggir rel yang pada 1950 an masih lengang, kini menjadi ramai untuk tempat tinggal, hunian, tempat hiburan malam pinggir rel yang masih langgeng sudah puluhan tahun. Akankah daerah pinggir rel terus dibiarkan dan berpotensi mengganggu Perka dan keselamatan warga?

Daerah pinggir rel di jalur KA di Jakarta menjadi salah satu pilahan warga kurang beruntung di ibu kota  sejak 1957 silam. Keberadaan mereka tumbuh diawali ketika Jakarta mulai membangun pasca merdeka. Proyek-proyek pembangunan Jakarta saat itu mendorong  urbanisasi dari beberapa kota di Jawa dan luar Jawa mendatangi Jakarta untuk mendapatkan rezeki yang di kampung sulit, namun di Jakarta  mendapatkanya.

Tahun demi tahun hunian di pinggir rel KA masih bertahan dan terus tumbuh. Bahkan, meskipun Kemenhub sebagai pemilik lahan dan PT. KAI sebagai penguasa lahan telah berulang kali menertibkan hunian di pinggir rel hingga saat ini hunian di pinggir rel yang menggunakan lahan negara masih bertebaran di sepanjang rel.

Bangunan di pinggir tumbuh mula-mula berbahan  kardus, triplek. Karena  dibiarkan akhirnya mereka berani mendirikan rumah tembok. Para pendatang yang lebih dulu datang menjadi penguasa lahan. Mereka membuat kontrakan-kontrakan dengan harga murah, terjangkau untuk buruh kasar, pekerja serabutan, pedagang kecil, sopir, wiraswasta hingga tukang bajaj, karyawan swasta dan Satpam. Mereka umumnya bekerja di sektor informal.

Hunian di pinggir rel hingga saat  masih belum mampu diberesi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hunian di pinggir rel belum mendapat perhatian serius untuk ditempatkan di  rumah susun. Penempatan penghuni  rumah susun belum menyentuh warga pinggir rel,  ini terbukti masih maraknya penghuni di pinggir rel yang hampir ada di jalur lingkar, Tanah Abang, - Palmerah hingga Kebayoran dan Duri-Tangerang di beberapa titik masih ditumbuhi bangunan di pinggir rel.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline