Kebakaran hunian di pinggir rel di dekat Stasiun Taman Kota pada Kamis (29/3) sempat melumpuhkan perjalanan KRL Duri-Tangerang dan KA Bandara Soekarno Hatta (BSH) yang baru 3 bulan beroperasi. Mungkinkah KA BSH perlu diruwat agar berbagai rintangan perjalanan KA penghubung dari Manggarai-Sudirman Baru-Tanahabang-Duri-Batu Ceper ke BSH dapat lancar tanpa rintangan dalam beroperasi?
Sejak diluncurkan pada kahir Desember 2017 yang menghadirkan kepala negara Presiden Jokowi dalam peresmian, sudah tercatat 3 kali KA BSH mengalami gangguan perjalanan. Pertama ketika underpass ambruk. Kedua ketika perjalanan KA BSH tiba-tiba mati dan semoga ini yang terakhir. Ketiga, KA BSH terganggu perjalannya akibat kebakaran di pinggir rel KA di daerah Taman Kota, Jakarta Barat.
Rintangan perjalanan atau sering disebut dalam istilah perkeretaapian Rinja adalah segala sesuatu yang mengakibatkan suatu kereta api tidak dapat melewati daerah tertentu karena berbagai sebab seperti bencana alam, teknis dan berbagai hal sehinggan operasi KA harus dihentikan untuk menghindari peristiwa yang lebih besar atau untuk menjaga keselamatan perjalanan kereta api (Perka).
Musibah kebakaran sudah pasti tidak diinginkan semua pihak. Kebakaran di Jakarta hampir setiap minggu terjadi di berbagai wilayah, dan umumnya musibah kebakaran terjadi di daerah padat penduduk yang mohon maaf rumah-rumahnya saling berhimpitan dengan bangunan semi permanen. Dari ratusan hunian di Jakarta beberapa daerah berpotensi kebakaran berada didekat rel KA, sehingga potensi kebakaran pada hunian pinggir rel sangat besar.
Bangunan yang berdempet rapat dengan instalasi listrik tak teratur dan safety tak dapat menjamin musibah kebakaran tidak terulang. Kebarakan di pinggir rel di lintas Jakarta sudah seringkali terjadi dan hampir selalu berdampak terhadap Perka, baik KA antar kota, KRL, termasuk KA Bandara BSH pada kejadian terakhir di lintas Duri-Tangerang yang juga dilalui KA BSH.
Hunian di pinggir rel masih menyisakan problem bagi Jakarta. idealnya hunian pinggir rel dan hunian di pinggir sungai ditata dan menjadi prioritas gubernur DKI Jakarta. wajah pinggir rel dan wajah pinggir sungai harus dijadikan muka bukan terus dibelakangi. Siapa pun yang memimpin Jakarta jangan hanya melihat ibu kota dari Jalan Sudirman-Thamrin, namun lihat, saksikan dari atas KA dan dari perahu karet melintasi Sungai Ciliwung di Jakarta.
Dengan melihat secara langsung, pimpinan dan segenap tim di belakangnya akan mampu menata Jakarta lebih baik dalam lima tahun ke depan. Penataan pinggir rel sangat urgen, mengingat di Jakarta daerah hunian pinggir rel tidak hanya membuat kekumuhan lingkungan, namun juga berpontensi mengancam keselamatan Perka. Daerah pinggir rel yang pada 1950 an masih lengang, kini menjadi ramai untuk tempat tinggal, hunian, tempat hiburan malam pinggir rel yang masih langgeng sudah puluhan tahun. Akankah daerah pinggir rel terus dibiarkan dan berpotensi mengganggu Perka dan keselamatan warga?
Daerah pinggir rel di jalur KA di Jakarta menjadi salah satu pilahan warga kurang beruntung di ibu kota sejak 1957 silam. Keberadaan mereka tumbuh diawali ketika Jakarta mulai membangun pasca merdeka. Proyek-proyek pembangunan Jakarta saat itu mendorong urbanisasi dari beberapa kota di Jawa dan luar Jawa mendatangi Jakarta untuk mendapatkan rezeki yang di kampung sulit, namun di Jakarta mendapatkanya.
Tahun demi tahun hunian di pinggir rel KA masih bertahan dan terus tumbuh. Bahkan, meskipun Kemenhub sebagai pemilik lahan dan PT. KAI sebagai penguasa lahan telah berulang kali menertibkan hunian di pinggir rel hingga saat ini hunian di pinggir rel yang menggunakan lahan negara masih bertebaran di sepanjang rel.
Bangunan di pinggir tumbuh mula-mula berbahan kardus, triplek. Karena dibiarkan akhirnya mereka berani mendirikan rumah tembok. Para pendatang yang lebih dulu datang menjadi penguasa lahan. Mereka membuat kontrakan-kontrakan dengan harga murah, terjangkau untuk buruh kasar, pekerja serabutan, pedagang kecil, sopir, wiraswasta hingga tukang bajaj, karyawan swasta dan Satpam. Mereka umumnya bekerja di sektor informal.
Hunian di pinggir rel hingga saat masih belum mampu diberesi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hunian di pinggir rel belum mendapat perhatian serius untuk ditempatkan di rumah susun. Penempatan penghuni rumah susun belum menyentuh warga pinggir rel, ini terbukti masih maraknya penghuni di pinggir rel yang hampir ada di jalur lingkar, Tanah Abang, - Palmerah hingga Kebayoran dan Duri-Tangerang di beberapa titik masih ditumbuhi bangunan di pinggir rel.