Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Sujadi

Enterpreneur

Heritage Kereta Api, Memadukan Bisnis Angkutan dan Kepedulian

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - Kereta Api Wisata B 2502 di Stasiun Ambarawa, Jawa Tengah (KOMPAS.com / FITRI PRAWITASARI)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi - Kereta Api Wisata B 2502 di Stasiun Ambarawa, Jawa Tengah (KOMPAS.com / FITRI PRAWITASARI)"][/caption] Pembangunan perkeretaapian di Bumi Pertiwi yang ditandai pencangkulan perdana pembuatan jalur KA antara Semarang-Tanggung sepanjang 26 km pada tahun 1864, telah meninggalkan jejak sejarah besar perkeretaapian di Indonesia berupa bangunan stasiun, perkantoran, rumah dinas dan berbagai benda cagar budaya bernilai tinggi di Nusantara. Pada masa penjajahan Belanda, hampir semua bangunan perkeretaapian dapat dirawat dengan baik. Mulai track, stasiun, perkantoran, rumah dinas semua terawat dengan sempurna karena Belanda sangat memperhatikan dan menghargai hasil karyanya. Kondisi track, stasiun, dan bangunan lainya steril dari kegiatan orang yang tidak perlu. Masyarakat mematuhi semua aturan Belanda karena sanksi tegas yang diterapkan pengelola perkeretaapian bagi masyarakat dan pegawai kereta api yang melakukan pelanggaran. Kemerdekaan bangsa Indonesia telah berhasil merebut kereta api dari tangan penjajah melalui angkatan muda kereta api (AMKA). Kemerdekaan Indonesia diikuti pula dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang semula dikuasai penjajah, termasuk perusahaan kereta api diambil alih sejak 28 September 1945. Praktis sejak saat itu pengelolaan kereta api diserahkan kepada bangsa sendiri. Pada era Presiden Soekarno perkeretaapian di negeri ini masih mendapat perhatian. Ke mana-mana sepanjang ada jalur KA, Soekarno pergi naik KA, termasuk saat perpindahan pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan kereta api luar biasa (KLB), Presiden Soekarno beserta keluarga dan staf menggunakan KA. Meskipun dengan kereta-kereta kayu dan lokomotif uap, KA masih dapat kita saksikan hampir ke seluruh pelosok Jawa dan Sumatera yang ada rel KA. Seiring perubahan jaman, pemerintahan berganti. Kepemimpinan Presiden Soekarno diganti oleh Soeharto. Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, nasib kendaraan jalan baja ini tidak semakin membaik, malah semakin terpuruk. Pemerintah mengijinkan masuk mobil-mobil Jepang secara besar-besaran. Semakin tumbuhnya mobil harus diimbangi dengan pembangunan jalan raya. Pemerintah membangun jalan raya ke seluruh pelosok negeri yang akhirnya telah menghancurkan daya saing transportasi KA. Yang lebih ironis, jalur-jalur KA ke pelabuhan juga ditutup, untuk memberikan kesempatan kepada pemilik truk mengambil muatan ke pelabuhan. Penutupan jaringan rel KA ke dermaga kapal memutuskan angkutan KA yang praktis ini. Kereta api akan hidup apabila ada koneksi dari darat ke air (pelabuhan). Penutupan jalur ke pelabuhan telah mematikan KA. Kondisi ini karena kebijakan pemerintah yang mengijinkan truk-truk besar untuk mengangkut berbagai barang ekspor-impor ke dan dari pelabuhan. Karena tidak dapat langsung masuk ke pelabuhan, daya saing angkutan KA menurun, pada akhirnya angkutan KA barang dengan KA berpindah ke truk. Pada awal tahun 2009, Ella mengisahkan, Ignasius Jonan menjalani fit and propertest untuk menjadi Direktur Utama PT. KAI. Pria berbadan gempal kelahiran Surabaya ini oleh salah satu anggota Tim seleksi Direktur di BUMN, Sri Mulyani yang juga Menteri Keuangan menyarankan agar PT. KAI memperhatikan bangunan-bangunan cagar budaya. Stasiunnya bagus-bagus, namun tidak dirawat dan akhirnya kumuh. Stasiun Tanjungpriuk, Semarangtawang, Solo Jebres, Tugu Yogyakarta, Jakartakota, dan masih banyak lagi stasiun di Jawa dan Sumatera dibangun dengan arsitektur tinggi. Membangun stasiun, terang Ella, menggunakan perasaan, dan seni agar dapat dinikmati masyarakat. Belanda membangun stasiun tidak asal-asalan, sehingga hasilnya sangat bagus. Sayangnya perawatannya tidak bagus, sehingga stasiunnya kumuh,” terang wanita lulusan Manajemen Heritage ini. Stasiun Tanjungpriuk merupakan stasiun termegah dan termodern pada masanya di Jakarta, namun lihat 3 tahun ke belakang. Stasiun ini sama sekali tidak terurus dan menjadi kompleks pelacuran dengan sebutan Pela-pela. Beruntung pemerintah dan PT. KAI mulai tergugah hatinya untuk peduli memugarnya. Pengoperasian kembali Stasiun Tanjungpriuk diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-SBY pada 6 Mei 2009. Melihat potensi besar tersebut, setelah berunding dengan tim seleksi Direksi BUMN dan Menneg BUMN Sofyan Djalil menunjuk Ignasius Jonan sebagai Dirut PT. KAI, untuk menggantikan Ronny Wahyudi. Direksi di bawah komando Jonan, panggilan akrab Ignasius Jonan, telah berhasil menyelamatkan dan meningkatkan nilai benda dan bangunan bersejarah di lingkungan PT. KAI. Bangunan yang semula tidak terawat dapat disulap menjadi bangunan berguna, bernilai dan memiliki nilai jual tinggi. Pencapaian kinerja Jonan dalam membenahi benda dan bangunan cagar budaya perkeretaapian tak terlepas dari upaya Jonan dengan membentuk organisasi Executive Vice President (EVP) Conservation And Heritages atau Pusat Pelestarian Benda dan Bangunan Cagar Budaya. EVP ini dibantu 2 Vice President (VP), yaitu VP Buildings Kemudian VP Non Buildings. Pembentukan Pusat Pelestarian Benda dan Cagar Budaya ini dimaksudkan untuk menangani bangunan cagar budaya perkeretaapian yang terbengkelai, namun memiliki nilai tinggi di lingkungan PT. KAI. Jonan memilih Leila Ubaidi yang paham betul pada bangunan bersejarah ini. Ella, panggilan Leila Ubaidi sudah berpengalaman dan memiliki jaringan luas di dalam pengelolaan Kota Tua di DKI Jakarta. Jonan tidak salah pilih, Ella yang bergabung pada Mei 2009 dengan PT. KAI terbukti dapat menginventarisir dan bekerja sama dengan jaringannya untuk menata ratusan benda dan bangunan bersejarah. Dalam tempo tidak terlalu lama benda dan bangunan bersejarah yang semula kurang terawat mulai mendapat perhatian masyarakat karena ditata dan dirawat dengan baik oleh PT. KAI. Sesuai tugasnya Heritage adalah sebuah upaya menemukan, merawat benda, bangunan bersejarah yang semula tidak bernilai menjadi benda dan bangunan bernilai, bermanfaat bagi publik. Terbukti betul inventarisasi, penataan dan pemanfaatan kembali benda dan bangunan milik PT. KAI dapat memberikan manfaat yang besar bagi PT. KAI, masyarakat, bangsa dan negara. Bagi PT. KAI, setidaknya perawatan bangunan heritage telah meningkatkan citra perusahaan pelat merah di bawah Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN ini. Pemugaran bangunan Wisma Parahyangan telah membuat orang di Bandung terkagum-kagum. Belum lagi penataan kawasan Gedung Lawang Sewu, Stasiun Solo Jebres dan penataan Kawasan Museum Ambarawa, Tuntang, Bedono dan tempat-tempat lain. Dengan membentuk organisasi baru yang khusus menangani masalah Heritage, maka PT. KAI sekarang mampu melakukan inventarisasi, membuat program konservasi aset bangunan bersejarah dan merencanakan pemanfaatan dan evaluasi aset bangunan bersejarah. Selain itu PT. KAI juga mampu menginventarisir dan membuat program konservasi aset non bangunan bersejarah dan merencanakan pemanfaatannya serta evaluasi aset nonbangunan. Dengan membentuk bagian yang khusus menangani masalah tersebut, maka fokus pekerjaaan dapat dilakukan dengan baik. Direksi ingin menunjukkan bahwa PT. KAI tidak hanya berbisnis pada angkutan penumpang dan barang, namun juga perhatian kepada bangunan-bangunan bersejarah yang dimiliki PT. KAI, terutama yang berpotensi wisata, pendidikan, atau peluang bisnis lainya. PENATAAN BANGUNAN LAWANG SEWU Siapa tak kenal bangunan Gedung Lawang Sewu di Semarang. Gedung ini milik PT. Kereta Api Indonesia (Persero) - PT. KAI. Kondisinya pada tahun 2008, saat itu memprihatinkan dan terkenal sebagai tempat ribuan dedemit bermukim. Gedung itu terlantar karena PT. KAI tidak mampu merawat dan menaruh perhatian yang serius. Gedung Lawang Sewu yang terletak di Jalan Pemuda Nomor 160, Semarang, dahulu merupakan Kantor Pusat Perusahaan Kereta Api pertama Hindia-Belanda Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Peletakan batu pertama pembangunan Gedung Lawang Sewu dilaksanakan pada 27 Februari 1904. Bangunan pertama (Gedung A) diselesaikan pada tahun 1907 dan diresmikan pada 1 Juli 1907. Gedung Lawang Sewu adalah salah satu contoh peninggalan kebudayaan materi yang dimiliki oleh PT. KAI. Bangunan yang didesain oleh arsitek Prof. Jacob Klinkhamer dan BJ Oendaag pada awal abad 20 ini bisa diyakini sebagai potret kebudayaan urban Semarang pada awal tahun 1900-an. Karya arsitekturnya tidak hanya dieksplorasi karena secara jelas menampilkan bagaimana masyarakat pada saat itu berinteraksi secara global di Semarang. Kota yang terkenal dengan wingko babat dan bandeng presto ini dipastikan merupakan kota kosmopolitan pada masanya dan merupakan sumber inspirasi bagi Soerabaia, Batavia dan Bandoeng pada masanya. Gedung bersejarah itu dimanfaatkan dengan fungsi baru, yakni sebagai ruang usaha komersial dan konservasi. Hasil dari usaha komersial ini diharapkan dapat membiayai pelestarian bangunan Gedung Lawang Sewu. Sehingga secara keekonomian gedung ini dapat membiayai dirinya sendiri secara mandiri. Gedung Lawang Sewu dapat dikembangkan menjadi sebuah wadah yang dapat mendorong pertumbuhan kekayaan industri kreatif di Jawa Tengah dan menjadikannya sebagai sarana kegiatan alternatif bagi publik. Setiap pengunjung akan berkeliling menelusuri lorang-lorong Gedung bersejarah tersebut. Untuk menelusuri Gedung itu ada beberapa Guide yang sudah lama memandu para wisatawan. Pemandu wisata dulu menjelaskan sisi gelap dan keangkeran Gedung Lawang Sewu. Sekarang beda, guide sudah kami bekali seiring perubahan yang dilakukan. Image terbentuk atas penjelasan guide, karena itu guidenya kami bekali dengan proses konservasi. Pendapatan dari tiket dan sewa gedung diharapkan dapat untuk membiayai perawatan gedung. Sedangkan yang menguntungkan nanti dari penjualan pernak-pernik, cinderamata perkeretaapian. “Souvenir dan pernak-pernik perkeretaapian dapat memberikan keuntungan bagi PT. KAI, ini yang harus kita gali ke depan. Apakah kita perlu membentuk anak perusahaan baru yang memproduksi pernak-pernik cinderamata ini atau PT. KA Pariwisata yang menangani. Atau mungkin kita akan bermitra dengan swasta, kita cari formula terbaik, yang penting menguntungkan kedua belah pihak. Gedung Lawang Sewu yang memiliki keunikan dan keindahan arsitektur merupakan Living Museum. Konsep pemanfaatan gedung akan diutamakan untuk kegiatan industri kreatif. Gedung yang terletak di Jalan Pemuda Nomor; 160 Semarang ini, akan difungsikan sebagai ruang pameran, ruang pagelaran seni, ruang seminar, ruang rapat dan juga merupakan Shopping Arcade dengan menyuguhkan berbagai produk retail. Selain itu Gedung Lawang Sewu juga akan dimanfaatkan sebagai ruang perkantoran, ruang sewa pertemuan dan pesta taman. Gedung Lawang Sewu bukan sekedar warisan sejarah (historical heritage) yang perlu dilestarikan namun harus mampu menjadi sumber daya budaya (cultur resource), sebagaimana layaknya sumber daya yang lain seperti; sumber daya alam, manusia dan sosial. Gedung Lawang Sewu harus dapat menjadi magnet perekonomian di Kota Semarang khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya. Berbagai kegiatan yang dilakukan di Gedung Lawang Sewu harus mampu menjadi kekuatan yang menghasilkan manfaat lebih luas bagi publik. Sehingga Gedung Lawang Sewu pada saatnya nanti akan dapat menghidupi dirinya sendiri untuk pembiayaan konservasinya, bahkan dapat menghidupi lingkungannya. Gedung Lawang Sewu dapat menjadi usaha baru bagi PT. KAI, sebagai unit bisnis non angkutan. Tidak menutup kemungkinan bisnis ikutan di kawasan Gedung Lawang Sewu dapat mendatangkan profit bagi PT. KAI. ###

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline