Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Sujadi

Enterpreneur

Revolusi Mental, Mungkinkah KAI Jadi Rujukan?

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh; Akhmad Sujadi

Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) mengkampanyekan gerakan revolusi mental. Sebagai orang awam saya meraba-raba apa makna sebenarnya revolusi mental itu. Sejauh ini saya barumembaca artikel dibeberapa media, namun belum mendapatkan penjelasan detail dari Sang presiden terpilih apa makna, maksud dan siapa sebenarnya yang akan menjadi sasaran revolusi mental itu.

Meskipun masih penasaran, menurut saya, yang perlu direvolusi mental itu bukan rakyat kebanyakan. Petani di kampung, pedagang di pasar dan buruh pabrik. Saya kira mereka umumnya bermental baik. Jujur, ikhlas dan rajin dalam bekerja. Mereka ini parapelaku ekonomi riil yang umumnya menggunakan kemampuan sendiri untuk usaha dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apakah mereka perlu revolusi mental? Mestinya tidak lah.

Barang kali ada yang sependapat dengan saya kalau revolusi mental itu ditujukan kepada lembaga negara, kementerian, pemda dan beberapa BUMN. Mungkin inilah yang perlu dilakukan revolusi mental. Kalau memang iya, apakah sudah sangat parah lembaga-lembaga ini sehingga harus dilakukan revolusi mental? Separah apakah kementerian kita?Separah apakah lembaga legislatif, yudikatif kita? Pemberitaan di media mungkin tepat bila sasaran revolusi mental adalah lembaga yang nantinya di bawah presiden secara langsung.

Petikan artikel dalam Tajuk Rencana Harian Kompas (5/9) berjudul “Wajah korupsi kita” barangkali dapat menjadi rujukan kita dalam menjabarkan perlunya gerakan revolusi mental. Perang melawan korupsi memang tak kunjung berhenti. Berakhirnya Orde Baru dan mekarnya demokrasi ternyata tak mampu mengurangi praktik korupsi. Aturan ada, lembaga pengawas ada, seharusnya korupsi bisa dikurangi. Namun data statistik penanganan KPK menunjukan korupsi terjadi secara sistematis, terstruktur dan masif.

Terstruktur karena melibatkan unsur struktural di lembaga negara. Sistematis karena dilakukan tersistem dan masif karenaterjadi di pusat dan daerah. Pada cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif atau pun komisi negara. Korupsi dilakukan lintas partai politik, bahkan beberapa kasus menimpa pasangan suami istri ikut menjadi aktor.

Dari paparan di atas jelas kondisi mental para penyelenggara negara ini mungkin yang perlu direvolusi mentalnya. Revolusi mental bukan hanya menyangkut orangnya saja. Namun sembari merevolusi mental sistem pengamanan, terutama masalah keuangan harus diperbaiki dengan sistem tertentu. Beberapa perusahaan menggunakan kemajuan teknologi informasi (IT) untuk membentuk mental baik dan mencegah penyimpangan. Sehingga sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaku utama birokrasi dan Corporasi dapat terjaga mental baiknya dalam melaksanakan tugas pekerjaanya dengan sistem yang diterapkan.

Beberapa faktor pendorong dilakukan revolusi mental suatu lembaga atau institusi; pertama kondisi lembaga itu sendiri seperti apa. Kalau sudah baik tentu tidak perlu direvolusi mentalnya. Kedua niat baik pemimpinya apakah mau melakaukan revolusi mental? Revolusi, apalagi revolusi mental menyangkut psikis. Menyangkut perlaku orang-orang di dalam suatu organisasi. Jadi kalau pemimpinya berniat melakukan revolusi mental, pemimpin itu harus bersih, jujur dan memiliki integritas kelas wahid. Sehingga tidak ada beban dalam melakukan pembersihan mental.

Agar presiden terpilih dapat melakukan revolusi mental, maka harus dipilih para menteri yang memiliki kemampuan menjabarkan kebijakan presiden, bermental pemberani atau petarung dan dapat memanage kementerian atau lembaga yang dipimpinnya. Revolusi mental lebih bersifat kedalam atau internal darilembaga itu sendiri. Bila lembaga itu telah melakukan revolusi mental dan diikuti dengan penataan sistem untuk mensterilisasi kebijakan kementeriannya, maka secara otomatis pihak eksternal akanmenyesuaikan diri dengan peraturan di lembaga atau kementerian tersebut.

Barangkali yang dilakukan PT. KAI merubah wajah buruk perkeretaapian di negeri ini dapat menjadi rujukan? Sebelumnya di atas kereta api (KA) banyak penumpang gelap, mafia penumpang tanpa tiket. PT. KAI menanganinya dengan tiketing on line. Tiket kertas diganti tiket plastik elektronik. Tiket atas nama, satu tempat duduk satunama. Tiketing elektronik untuk KRL Jabotabek, dan pemeriksaan ketat dengan sistem boarding merupakan dua kunci untuk menyelesaikan tiketing. Apabila ada yang melanggar aturan baik itu internal maupun eksterndiberi sanksi tegas sesuai aturan yang berlaku.

Jadi yang dilakukan PT. KAI selain melakuan perubahan mental segenap pimpinan dan karyawan juga merubah perilaku penumpang dengan sistem IT. Dulunya penumpang, pegawai tidak tertib, kini telah berubah menjadi tertib. Dulu banyak penumpang, pengguna lahan KAI gratis sekarang bayar. Dengan demikian, kondisi internal yang baik akan diikuti eksternal untuk mematuhi peraturan yang berlaku. Intinya ketegasan dalam penegakan aturan akan membawa keberhasilan.

Tidak hanya masalah tiketing saja dilakukan perubahan mental internal dan berdampak baik terhadap kepatuhan eksternal. Masalah pemakaian sewa lahan, property perusahaan dan hampir di semua lini di PT. KAI telah dilakukan perubahan dengan memprotek kebijkan perusahaan dengan memperbaiki mental internal dan berdampak kepatuhan eksternal. Maka pantas kiranya KAI yang kini telah berubah lebih baik dari sebelumnya dijadikan rujukan revolusi mental di negeri ini? ###

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline