Lihat ke Halaman Asli

Jumpalitan untuk Bisa Kuliah S-3 di Luar Negeri

Diperbarui: 17 September 2017   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belum lama ini, saya mendapatkan sebuah tautan tentang sebuah program PhD Day yang akan diselenggarakan oleh sebuah kampus top dari Australia. Acara tersebut akan diadakan di Jakarta pada 9-10 September ini. Segera saya buka tautan tersebut, ternyata benar, menarik, dan bermanfaat. Lalu dalam hitungan detik, saya sebar tautan tersebut ke sejumlah rekan dosen, mahasiswa, rekan-rekan lain yang memang sedang giat-giatnya mencari informasi tentang studi S-3 di luar negeri. 

Dari seorang pekerja kantoran, lalu banting profesi menjadi seorang dosen, kemudian bermimpi ingin kuliah S-3 di luar negeri. Itulah sekilas tentang saya. Sekitar tahun 2008-2009, adalah saat-saat penting bagi saya jumpalitan mencari dan berburu supervisor riset, kampus, dan beasiswa. Saat ini, saya merasai ingin menuliskan pengalaman saya di sini. Berikut adalah hal-hal yang saya lakukan dahulu itu:

(a) Menyiapkan proposal penelitian. Latar belakang pendidikan S-1 dan S-2 saya berkaitan dengan ilmu pemasaran. Ketika saya harus menulis proposal riset S-3, saya berpikir bagaimana menggabungkan 'social marketing' - bidang yang saya sukai - dengan kegemaran saya travelling. Konon, dalam menulis proposal penelitian, harus memenuhi unsur kebaruan. Lalu saya buka Google dengan kata kunci 'social marketing in tourism'. Nyaris tak ada artikel riset yang berhubungan dengan itu. Bingo! Artinya, ide penelitian saya dapat dikatakan belum banyak yang meneliti. Lalu saya cari kasus yang bisa saya teliti. Saat itu, rekan saya sedang giat berkampanye 'Travel Warning: Indonesia Dangerously Beautiful' lewat media sosial. Saya angkat ide ini. Tiga halaman proposal riset dengan spasi 1,5 selesai. Untuk merayakan pencapaian ini, saya beli sepatu baru.   

(b) Menerjemahkan proposal penelitian. Merasa kurang menguasai Bahasa Inggris, terutama untuk academic writing, saya minta bantuan seorang rekan dosen untuk menerjemahkan proposal saya itu. Done. Another achievement. Untuk merayakan ini, saya pergi ke sebuah cafe dan makan malam di sana. 

(c) Cari supervisor. Saya buka Google. Saya ketik kata kunci 'PhD supervisor in social marketing', 'PhD supervisor in tourism', dan kata kunci-kata kunci lainnya. Bermunculanlah nama-nama professor maupun senior lecturer dari berbagai kampus ddari berbagai negara, dari utara ke selatan, dan barat ke timur. Setiap hari saya browsing, setiap hari saya menawarkan diri ide riset saya. Ada yang tertarik, ada yang tidak. Mereka yang tertarik, tidak semua bersedia menjadi supervisor dengan sejumlah alasan, misalnya, sibuk, cuti, sakit, hingga ada yang mau pensiun. Mereka yang menolak, misalnya, mengatakan bahwa ide riset saya tidak cocok untuk penelitian S-3, tidak jelas, hingga saya disuruh ganti topik saja. Ganti topik, artinya bikin proposal baru. Ogah. Mereka yang tertarik, ada yang mengajukan saran agar saya merevisi dan memodifikasi proposal, ada juga yang bulat-bulat menerima ide saya tanpa syarat apa pun. Pada akhirnya, saya menerima pinangan supervisor dari Australia dan Inggris. Satu lagi, dari Belanda. Namun, sistem di Belanda berbeda karena saya tidak langsung berhubungan dengan calon supervisor secara pribadi.  

(d) Mempelajari syarat-syarat pendaftaran. Saya sebetulnya mendapatkan balasan yang menyenangkan dari beberapa kampus di Singapura. Bagi saya, kuliah di Singapura pun sepertinya asyik-asyik saja, apalagi mereka juga memberikan uang saku. Tapi begitu melihat persyaratan yang mereka ajukan, saya gentar. Mereka minta nilai GMAT dan GRA. Ah, saya maunya mencari kampus yang syarat-syarat daftarnya tidak bikin repot. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, saya fokus pada kampus-kampus yang telah menyatakan menerima proposal riset saya. So, syarat-syarat standar yang mereka ajukan antara lain, copy ijazah, transkrip nilai, surat referensi, dan sertifikat IELTS.   

(e) Sertifikat IELTS. Please, deh. Terakhir saya belajar formal bahasa Inggris adalah tingkat Basic 4 dari sebuah tempat kursus (menyesal tak tekun hingga tamat semua tingkat). Itu pun belasan tahun lalu saat saya kuliah S-1. Dengan persiapan seadanya, saya nekad ujian Bahasa Inggris. Hasilnya? 6.0! Padahal saya perlu 6.5 untuk bisa daftar di sebuah kampus di Australia, dan 7.0 untuk sebuah kampus di Inggris. Manyun.

(f) Konsultasi dengan Agen Pendidikan. Saya beruntung mengunjungi sebuah agen pendidikan di daerah Kuningan, Jakarta. Mereka dengan baiknya membantu saya. Saya tunjukkan email kesediaan calon supervisor untuk membimbing saya, dan meminta semua dokumen yang diminta, termasuk sertifikat IELTS yang nilainya nista itu. Dalam hitungan minggu, saya mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) dari sebuah kampus di Australia. Tentu saja yang statusnya masih conditional, karena nilai IELTS saya masih kurang. 

Saya kembali tes Bahasa Inggris dengan lebih mempersiapkan diri. Hasilnya? Innalillahi. Kembali dapat 6.0! Padahal untuk ikut tes ini tidak murah. Dengan semboyan 'maju terus pantang mundur', saya kembali tes, untuk yang ketiga kali. Ya, Allah. Kali ini lebih parah. Saya hanya dapat 5.5! Dasar tulalit. Pengen nangis, tapi malu. Pengen jejeritan, tapi gak mungkin. Nah, dasar anak soleh, si Ibu dari Agen Pendidikan ini merasa tersentuh dengan kegigihan dan perjuangan saya. Beliau menyurati kampus yang saya tuju. Minta agar saya boleh ikut kursus bahasa di sana, dengan gratis. GRATIS!  So, untuk menaikkan skor 0.5, saya boleh kursus Bahasa Inggris selama 10 minggu. Alhamdullillah, tidak perlu ikut tes IELTS yang menyebalkan itu lagi. 

(g) Menghadiri pameran pendidikan luar negeri. Saya banyak mendapatkan masukan dan motivasi dari hadir ke berbagai pameran pendidikan di luar negeri. Dengan demikian, visi dan motivasi saya terus terangkat. 

(h) Berhimpun dengan orang-orang yang memiliki mimpi sama. Saya tak boleh sendirian, saya perlu terus bergaul dengan rekan-rekan yang juga memiliki mimpi kuliah di luar negeri, terutama mereka yang tak punya uang, tapi belagu. Hahaha. Belagu adalah bentuk lain dari ambisi. Saya memaknainya dengan konotasi positif. Saya perlu orang-orang positif dan berambisi untuk mengejar mimpi. So, saat film Laskar Pelangi tayang di bioskop beberapa tahun lalu itu, adalah masa-masa saya berjuang mewujudkan mimpi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline