Lihat ke Halaman Asli

Spiritual Leadership: Kesalahan Pemimpin

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengapa Bung Karno terjungkal? Mengapa Pak Harto ambruk?

Tanpa bermaksud menghakimi kita sebaiknya belajar dari kepemimpinan dua orang tokoh ini.

Bung Karno adalah seorang putra Indonesia yang brilyan. Otaknya cemerlang. Bahasanya selain sistematis juga indah, sehingga mudah kita pahami.

Bahasa Bung Karno adalah bahasa rakyat yang mudah dipahami oleh para buruh, petani, dan tukang becak. Gaya bahasanya luar biasa. Seumur hidup saya belum pernah mendengar atau menyaksikan seorang pemimpin yang berpidato dengan gaya bahasa yang mempu menggugah semangat seperti itu. Dan pidato Bung Karno, walaupun bahasanya adalah bahasa rakyat, kandungan isinya bermutu sangat tinggi, sehingga beliau mendapat gelar Doktor dari lebih dari 25 universitas di seluruh dunia.  Wajarlah bila saat Bung Karno berpidato, para tukang becakpun berhenti dan mendekatkan telingatnya ke radio di dekat mereka. Puncak perjuangan Bung Karno adalah ketika memimpin bangsa ini merebut Irian Barat.

Lalu, bagaimana orang yang dikagumi rakyat, yang lidahnya mampu menggerakkan rakyat untuk berkorban demi Indonesia ini, dapat terjungkal terjerembab ke lubang kesalahan?

Lama saya merenungkan pertanyaan ini. Bung Karno terjungkal di puncak kejayaannya bagaikan sebuah istana disapu gelombang tsunami.

Bahwa terjungkalnya Sang Pemimpin disebabkan oleh kelihayan intelijen Barat, dan kecurangan orang kepercayaannya, itu semua orang sudah tahu. Yang tidak banyak orang memahami adalah aspek spiritual kejatuhan Sang Penyambung Lidah Rakyat itu. Aspek spiritual dalam arti energi positif dan negatif yang disebarkan oleh pikiran dan tindakannya. Dalam arti hubungan antara pikiran dan sikapnya dengan Tuhan.

Di zaman penjajahan, Bung Karno mendapat energi positif dari sikap pikiran dan tindakannya yang bergelora dengan Cinta,  Cinta kepada bangsanya, kepada rakyat Marhaen, yaitu rakyat kecil yang serba melarat. Cinta, itulah sumber energi positifnya. Sebaliknya kaum penjajah tidak kuasa melawan air bah perjuangan rakyat kita, karena penjajahan mereka mengandung energi negatif. Dengan bantuan sekutu yang bersenjata lengkappun para penjajah tidak dapat mengalahkan para gerilyawan kita. Itulah kekuatan Cinta, Cinta yang lahir dari dalam dada, yang bersumber dari Tuhan.

Namun menjelang dan saat konfrontasi dengan Malaysia, Cinta itu telah berubah menjadi permusuhan. Kata persatuan yang dikumandangkan semasa perjuangan kemerdekaan dan Revolusi Fisik telah berganti dengan persatuan revolusioner. Kedengarannya keren: persatuan revolusioner. Padahal rakyat tidak mampu membedakan mana yang revolusioner dan mana yang anti revolusi. Kalau di zaman penjajahan pejuang kita bersatu padu tanpa terlalu memandang aliran, agama, maupun suku, maka menjelang konfrontasi itu rakyat mulai terpecah. Rakyat mulai bingung, mana yang revolusioner mana yang reaksioner. Yang merasa revolusioner memusuhi yang dikiranya reaksioner. Persatuanpun tergerogoti oleh permusuhan. Pikiran dan perasaan Cinta berubah menjadi saling curiga, bahkan saling membenci. Kecurigaan, kebencian, permusuhan, itu mengembangkan energi negatif di Republik ini. Energi negatif yang melemahkan.

Maka dengan mudahnya musuh kita mendapat lahan pengembang biakan virus devide et impera, memecah belah bangsa ini. Dalam situasi pikiran bangsa yang sedang terpecah belah itulah Bung Karno terjungkal dari kepemimpinannya.

Bagaimana dengan Pak Harto? Kepemimpinan Pak Harto sejak awal sudah menebar energi negatif yang menghalangi petunjuk-petunjuk Tuhan untuk membawa bangsa ini ke arah masyarakat adil dan makmur yang kita cita-citakan. Energi negatif itu berawal dengan kecurangan terhadap orang yang memberinya kepercayaan. Dia telah menyelewengkan kepercayaan yang telah diberikan oleh Bung Karno. Penyelewengan ini, betapapun ditutupinya, menimbulkan energi negatif yang ngeblok pikirannya untuk menerima petunjuk Tuhan.

Selain itu, alih-alih menggalang persatuan bangsa, Pak Harto justru menghidup-hidupkan kecurigaan, permusuhan, penindasan, bahkan pembunuhan terhadap bangsa sendiri yang di cap sebagai komunis. Kalau Bung Karno dulu mengadili para pemberontak PRRI, Permesta, DI TII, lalu membebaskan mereka setelah menjalani hukuman, maka Pak Harto menjadikan “komunis” sebagai alat untuk menindas pikiran rakyat, untuk menguasai rakyat. Anak istri cucu pun di cap “komunis”. Ketiadaan Cinta dalam kepemimpinan Pak Harto itu telah menggiring bangsa ini menjauh dari Panca Sila, melebarkan jurang kemiskinan, kerusakan lingkungan, kerusakan mental.

Di kala Cinta berkembang di dada pemimpin maka inspirasi dari Tuhan dapat mereka tangkap sehingga inspirasi itu menjadi obor, menjadi suluh yang menerangi jalan leadership mereka. Sebaliknya, di kala Cinta itu sirna tergantikan oleh kecurangan, kebencian, permusuhan, maka hati mereka tertutup oleh debu yang makin lama makin tebal sehingga memblokir petunjuk-petunjuk Tuhan yang sebenarnya terus menerus mengalir ke hati mereka.

Semoga arwah Bung Karno dan Pak Harto pandai-pandai membuka hatinya sehingga mendapat kehidupan yang baik di alam sana. Semoga hati Anda dan hati kita semua dapat memaafkan beliau, semoga kita dapat belajar dari kesalahan beliau.

Salam Kasih Tuhan,

suhirman.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline