"MATA NAJWA, BELUM TAYANG DAH KEDALUWARSA"
.
OPINI | (SPMC) Suhindro Wibisono
.
[caption caption="www .youtube .com"][/caption]
.
Sebentar malam nanti, Rabu, 22 Juli 2015, seperti biasa akan ada acara Mata Najwa di Metrotv, iklannya memang menarik, membahas tentang PSSI dan kisruhnya sepakbola di negeri ini. Tentu saja saya akan nonton acara tersebut! Andai acara tersebut LIVE, pasti lebih menarik, karena mendengar berita yang juga disiarkan oleh MetroTV semalam yang juga diulang hari ini, tentang adanya mantan wasit sepakbola Indonesia (Nasaruddin) yang dijatuhi hukuman 30 bulan di Pengadilan Singapura karena mengatur skor pertandingan Timor Leste vs Malaysia di SEA Games.
.
Bukankah SEA Games blom lama keberlangsungannya? Terpikirkah oleh kita bahwa itu juga menyiratkan bagaimana bagusnya manajemen Pemerintahan di Singapura? Tidak perlu berlarut-larut untuk menyelesaikan masalah bukan? Apakah kita akan beralasan karena kita jumlah penduduknya lebih banyak? Bukankah jumlah pengadilannya di kita lebih banyak juga? Apakah bukan karena memang kita tidak punya manajemen Pemerintahan yang lebih bagus? Termasuk manajemen penegakkan hukum?
.
Masih ingatkah Anda tentang kasus penyelewengan Hakim Ketua MK "AM"? Saya sudah pernah menuliskannya di suatu artikel, tapi lupa diartikel yang mana. Sepengetahuan saya, maaf kalau salah, di MK kalau mau memutuskan suatu perkara, hakim-hakimnya akan bersidang lalu memutuskan dengan memberikan suara masing-masing, kurang lebih seminggu kemudian keputusan dibacakan dipengadilan. Itulah manajemen "pedagang pasar pagi" menurut saya, semua hanya dituntut saling percaya. Tidak perlu hakim nakal untuk bisa bisnis memperdagangkan hukum, bahkan tukang ketiknya (panitera) juga bisa dagang hukum karena juga otomatis mengetahui terlebih dahulu apa yang akan diputuskan dipengadilan yang akan datang atas suatu perkara. Bukankah tinggal kerja sama dengan calo yang jago negosiasi untuk menghubungi yang berperkara, hubungi yang "pasti" menang berperkara, tawarkan kemenangan dengan harga sekian, bukankah begitu yang banyak terjadi? Jadi tanpa merubah keputusanpun, sudah dapat uang bermilyar-milyar bukan? Dan merasa hanya "sedikit" berdosa karena toh tidak mengubah apapun keputusan sidang, bukankah luar biasa? Lalu apa yang sudah diubah di MK sana saat ini? Sudah adakah perubahan manajemennya? Saya kok belum dengar tentang itu. Dan masih banyak banget manajemen amburadul semacam itu disemua lini Pemerintahan kita, jadi masih jauh panggang dari api kalau ingin membersihkan peluang para koruptor dibasmi. Pada banyak artikel saya, selain mengungkap masalah, biasanya juga saya tuliskan solusi menurut saya, tentu saja tidak profesional, karena memang siapalah saya ini.
.
Juga tentang mengatasi kemacetan DKI, seandainya Gubernur punya hak penuh untuk ambil kebijakan atau seandainya juga disetujui oleh DPRD-nya, buat saja PERDA bahwa yang boleh punya kendaraan adalah mereka yang punya garasi, dan PERDA itu berlakunya 2 tahun lagi supaya rakyat bisa siap-siap, sambil Pemerintah juga mempersiapkan angkutan umum yang memadai. Saya yakin kendaraan di DKI akan berkurang setidaknya 30 persen, karena memang sangat banyak yang punya mobil tapi parkirnya di jalanan disemua perkampungan di DKI ini.
.
Kembali ke acara Mata Najwa sebelum saya lupa karena nyinyir kemana-mana karena gemes memperhatikan kenyataan kebangetan yang ada, atau jangan-jangan saya termasuk orang yang negatif thinking, hanya pandai melihat kesalahan saja? Wkwkwkwk ... Saya suka berpikir begitu sebetulnya, dan sering kali aneh mencari solusi pemecahannya, malah seringnya tidak umum ......maaf ya.
.
Andai banyak tokoh dinegeri ini tidak egois, mungkin negeri ini sudah sangat makmur. Kembali kemasalah PSSI, saya pribadi "menduga" memang banyak masalah disana, dan itu terjadinya sudah sangat lama dan masif, sehingga kalau mau dibenahi tidak mudah, utamanya karena banyak yang egois.
.
Ketika Wapres juga seolah mendukung agar PSSI tidak dibekukan dengan alasan karena itu menyangkut hajat hidup banyak orang, begitu juga dengan Agum Gumelar, juga seabrek tokoh lain, saya justru lihat dari sudut yang berbeda dengan mereka. Cobalah perhatikan ketika debat-debat diadakan untuk membahas persepakbolaan negeri ini, ketika disodorkan kesaksian-kesaksian ketidak beresan, kesaksian-kesaksian yang sudah begitu gamblang justru bukannya ngaca dan punya malu, tapi suara-suara pengurus PSSI justru selalu berteriak-teriak "mana buktinya-mana buktinya!!" Itulah contoh ke-egoisan, justru begitu ngotot minta bukti, memang ada asap kalau tidak ada api?
.
Seandainya para klub sepakbola yang ada juga berkehendak untuk memperbaiki keadaan, seharusnya masalah PSSI tidak berlarut-larut seperti sekarang, tapi yang ada mereka tidak mau diajak menggulirkan pertandingan sepak bola, mereka justru ikut boikot, agar Pemerintah utamanya Menpora terkalahkan. Dan itu menyedihkan, sekaligus membuktikan bahwa banyak klub yang juga terlibat masalah, jadi seperti hukum alam pada umumnya, pengelompokan itu otomatis terjadi sesuai habitatnya bukan? Jadi kalau para klub dan pemain sepakbola menjadi korban, juga semua bisnis dari tukang gorengan sampai tukang parkir terkena imbasnya, betulkah itu murni karena ulah Menpora? Saya kok justru meilihat karena ke-egois-an tokoh-tokoh persepakbolaan sendiri. Kecuali Menpora melarang adanya keberlangsungan pertandingan, bukankah kenyataannya justru Pemerintah mengharapkan tetap adanya pertandingan yang justru diboikot oleh para klub sepakbola sendiri? Mereka justru sangat egois, merekalah sebetulnya yang tidak peduli dengan hajat hidup orang banyak demi ke-egois-an itu. MENYEDIHKAN. (SW, Rabu, 22 Juli 2015, 17:30 WIB)
.
.
Sumber gambar:
www. youtube .com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H