Teori NativismE, Empirisme dan Konvergensi
1. Teori Nativisme
Teori Nativisme menyatakan bahwa kemampuan belajar atau potensi seseorang sudah dibawa sejak lahir. Menurut teori ini, faktor bawaan atau genetik adalah hal yang dominan dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam belajar. Dalam konteks platform pembelajaran digital, penerapan teori ini terlihat dalam beberapa aspek berikut:
Personalisasi Pembelajaran Berbasis Potensi
Platform pembelajaran digital dapat menggunakan AI (Artificial Intelligence) untuk memetakan kemampuan bawaan setiap peserta didik. Misalnya:
Assessment awal: Tes kemampuan bawaan seperti tes IQ, gaya belajar (visual, auditori, kinestetik), atau kemampuan kognitif dilakukan sebelum memulai pembelajaran.
Adaptasi Konten: Berdasarkan hasil assessment, platform memberikan materi yang sesuai dengan potensi masing-masing pengguna. Misalnya, seseorang dengan kemampuan visual tinggi diberikan materi berupa video atau infografik.
Penguatan Bakat Individual
Platform pembelajaran seperti Khan Academy atau Coursera sering menyediakan kursus khusus berdasarkan minat dan bakat individu. Hal ini sejalan dengan pendekatan nativisme, yaitu memaksimalkan potensi bawaan siswa tanpa memaksakan pembelajaran seragam.
Dukungan untuk Anak Berbakat
Dalam konteks ini, platform dapat mendukung anak-anak yang memiliki bakat khusus dengan menyediakan fitur advanced learning, seperti:
Program akselerasi.
Tantangan pemecahan masalah tingkat lanjut untuk siswa berbakat.
Pengaruh Dan Konsep Teori Nativisme Dalam Praktek Pendidikan
Telah cukup banyak dibicarakan hal-ikhwal tentang pendidikan, baik kaitannya dengan hakikat kehidupan manusi, maupun kaitannya dengan kebudayaan sebagai produk dari proses pendidikan. Pada saat manusia mengalami tahap perkembangan, naik secara fisik maupun rohaninya dalam proses pendidikan, muncullah pertanyaan mendasar tentang faktor yang paling berpengaruh terhaap perkembangan itu. Apakah faktor bakat dan kemampuan diri manusia itu sendiri, atau faktor dari luar diri manusia, ataukah kedua-dunya itu secara bersama-sama. Dari faktor pertamalah timbul teori yang disebut sebagai teori nativisme. Nativisme berasal dari kata "nativus" artinya pembawaan.
Teori nativisme dikenal juga dengan teori naturalisme atau teori pesimisme. Teori ini berpendapat bahwa manusia itu mengalami pertumbuhkembangan bukan karena faktor pendidikan dan intervensi lain diluar manusia itu, melainkan ditentukan oleh bakat dan pembawaannya. Teori ini berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak ada gunanya san tidak ada hasilnya. Bahkan menurut teori ini pendidikan it upaya itu justru akan merusak perkembangan anak. Pertumbuhkembangan anak tidak perlu diintervensi dengan upaya pendidikan, agar pertumbuhkembangan anak terjadi secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.
Teori nativisme berpendapat tentang perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawan sejak lahir, serta faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Menganalisis dari pendapat tersebut, anak yang dilahirkan dengan bawaan yang baik akan mempunyai bakat yang baik juga begitu juga sebaliknya. Faktor bawaan sangat dominan dalam menentukan keberhasilan belajar atau pendidikan,. Faktor-faktor yang lainnya seperti lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan hal itu juga tidak bisa diubah oleh kekuatan pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan merupakan suatu usaha yang tidak berdaya menurut teori tersebut, karena anak akan menetukan keberhasilan dengan sendirinya bukan melalui sebuah usaha pendidikan. Walaupun dalam pendidikan tersebut diterapkan dengan keras maupun secara lembut, anak akan tetap kembali kesifat atau bakat dari bawaannya. Begitu juga dengan faktor lingkungan, sebab lingkungan itu tidak akan berdaya mempengaruhi perkembangan anak.
Dalam teori nativisme telah ditegaskan bahwa sifat-sifat yang dibawa dari lahir akan menentukan keadaannya. Hal ini dapat diklaim bahwa unsur yang paling mempengaruhi perkembangan anak adalah unsure genetic individu yang diturunkan dari orang tuanya. Dalam perkembangannya tersebut anak akan berkembang dalam cara yang terpola sebagai contoh anak akan tumbuh cepat pada masa bayi, berkurang pada masa anak, kemudian berkembang fisiknya dengan maksimum pada masa remaja dan seterusnya.
Menurut teori nativisme ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia yaitu :
Faktor genetik
Orang tua sangat berperan penting dalam faktor tersebut dengan bertemunya atau menyatunya gen dari ayah dan ibu akan mewariskan keturunan yang akan memiliki bakat seperti orang tuanya. Banyak contoh yang kita jumpai seperti orang tunya seorang artis dan anaknya juga memiliki bakat seperti orang tuanya sebagai artis.
Faktor kemampuan anak
Dalam faktor tersebut anak dituntut untuk menemukan bakat yang dimilikinya, dengan menemukannya itu anak dapat mengembangkan bakatnya tersebut serta lebih menggali kemampuannya. Jika anak tidak dituntut untuk menemukannya bakatnya, maka anak tersebut akan sulit untuk mengembangkan bakatnya dan bahkan sulit untuk mengetahui apa sebenarnya bakat yang dimilikinya.
Faktor pertumbuhan anak
Faktor tersebut tidak jauh berbeda dengan faktor kemampuan anak, bedanya yaitu disetiap pertumbuhan dan perkembangannya anak selalu didorong untuk mengetahui bakat dan minatnya. Dengan begitu anak akan bersikap responsiv atau bersikap positif terhadap kemampuannya.
Dari ketiga faktor tersebut berpengaruh dalam perkembangan serta kematangan pendidikan anak. Dengan faktor ini juga akan menimbulkan suatu pendapat bahwa dapat mencipatakan masyarakat yang baik.
Dengan ketiga faktor tersebut, memunculkan beberapa tujuan dalam teori nativisme, dimana dengan faktor-faktor yang telah disampaikan dapat menjadikan seseorang yang mantap dan mempunyai kematangan yang bagus.
Adapun tujuannya adalah sebagai berikut :
Dapat memunculkan bakat yang dimiliki.
Dengan faktor yang kedua tadi, diharapkan setelah menemukan bakat yang dimiliki, dapat dikembangkan dan akan menjadikan suatu kemajuan yang besar baginya.
Menjadikan diri yang berkompetensi.
Hal ini berkaitan dengan faktor ketiga, dengan begitu dapat lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan bakatnya sehingga mempunyai potensi dan bisa berkompetensi dengan orang lain.
Mendorong manusia dalam menetukan pilihan.
Berkaitan dengan faktor ketiga juga, diharpkan manusia bersikap bijaksana terhadap apa yang akan dipilih serta mempunyai suatu komitmen dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah dipilihnya.
Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang.
Artinya dalam mengembangkan bakat atau potensi yang dimiliki, diharapkan terus selalu dikembangkan dengan istilah lain terus berperan aktif dalam mengembangkannya, jangan sampai potensi yang dimiliki tidak dikembangkan secara aktif.
Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki.
Banyak orang bisa memaksimalkan bakatnya, karena dari dirinya sudah mengetahui bakat-bakat yang ada pada dirinya dan dikembangkan dengan maksimal.
Melihat dari tujuan-tujuan itu memang bersifat positif. Tetapi dalam penerapan di praktek pendidikan, teori tersebut kurang mengenai atau kurang tepat tanpa adanya pengaruh dari luar seperti pendidikan. Dalam praktek pendidikan suatu kematangan atau keberhasilan tidak hanya dari bawaan sejak lahir. Akan tetapi banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya seperti lingkungan. Dapat diambil contoh lagi yaitu orang tua yang tidak mampu dan kurang cerdas melahirkan anak yang cerdas daripada orang tuanya. Hal tersebut tidak hanya terpaut masalah gen, tetapi ada dorongan-dorongan dari luar yang mempengaruhi anak tersebut.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, sekarang ini yang ada dalam praktek pendididkan tidak lagi memperhatikan apakah manusia memiliki bakat dari lahir atau tidak, melainkan kemauan atau usaha yang dilakukan oleh manusia tersebut untuk kemajuan yang besar bagi dirinya. Memang secara teoritis pendidikan tidaklah berpengaruh atau tidak berdaya dalam membentuk atau mengubah sifat dan bakat yang dibawa sejak lahir. Kemudian potensi kodrat menjadi cirri khas pribadi anak dan bukan dari hasil pendidikan. Terlihat jelas bahwa anatara teori nativisme dan pendidikan tidak mempunyai hubungan serta tidak saling terkait antara yang satu dengan lainnya. Oleh sebab itulah aliran atau teori nativisme ini dianggap aliran pesimistis, karena menerima kepribadian anak sebagaimana adanya tanpa kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan yang dapat ditanamkan intuk merubah kepribadiannya.
2. Teori Empirisme
Teori Empirisme menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. Dengan kata lain, pembelajaran terjadi melalui pengamatan, latihan, dan pengalaman langsung. Penerapan teori ini dalam platform pembelajaran digital sangat relevan karena berbasis interaksi dan pengalaman pengguna.
Dikutip dari buku Pengantar Ilmu Pendidikan (2019:69) karya Amanudin, teori empirisme pertama kali dikenal dengan sebutan "The School of British Empiricism" atau aliran empirisme Inggris.
Tokoh utama yang mencetuskan pemikiran untuk basis teori empirisme, yakni John Locke (1632-1704), filsuf asal Inggris yang masuk dalam jajaran pemikir penting era pencerahan (aufklarung).
Teori empirisme bertolak belakang dengan teori nativisme, karena mengabaikan adanya pengaruh dari faktor bakat atau potensi bawaan dalam proses pendidikan. Maka itu, teori ini menekankan ke pentingnya pengalaman, lingkungan, dan pendidikan dalam proses perkembangan anak. Doktrin teori empirisme paling terkenal ialah "tabula rasa" yang berarti bahwa manusia dilahirkan seperti kertas putih bersih, masih kosong. Peran pendidik sangat penting dalam membentuk anak.
Dalam ilmu pendidikan, teori empirisme disebut optimisme pedagogis. Optimisme tersebut terlihat dari asumsi dasar teori ini yang menganggap faktor lingkungan dan pendidikan dapat menjadikan anak berkembang sesuai dengan yang diinginkan
a. Penggunaan Simulasi dan Interaktivitas
Gamifikasi: Banyak platform digital menggunakan pendekatan berbasis game untuk melibatkan siswa dalam pembelajaran melalui pengalaman langsung. Contoh: Duolingo menggunakan elemen game untuk mengajarkan bahasa asing.
Simulasi Realitas Virtual (VR): Misalnya, platform seperti Labster menyediakan simulasi laboratorium virtual untuk mempelajari ilmu pengetahuan melalui eksperimen langsung.
b. Belajar Melalui Percobaan
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning): Platform seperti Edmodo atau Google Classroom sering mendukung pendekatan ini, di mana siswa belajar dengan menyelesaikan proyek berbasis pengalaman nyata.
E-Labs: Platform seperti PhET Interactive Simulations memungkinkan siswa melakukan eksperimen sains secara virtual.
c. Feedback Langsung
Platform berbasis empirisme memberikan umpan balik langsung kepada siswa berdasarkan hasil interaksi mereka. Misalnya:
Sistem kuis interaktif yang memberikan koreksi dan penjelasan setelah jawaban.
Pelaporan kemajuan berbasis data (learning analytics).
3. Teori Konvergensi
Teori Konvergensi menggabungkan aspek bawaan (nativisme) dan lingkungan (empirisme) dalam proses pembelajaran. Menurut teori ini, kemampuan seseorang dipengaruhi oleh faktor bawaan yang dikembangkan melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. Dalam konteks platform pembelajaran digital, teori ini sering diterapkan untuk menciptakan pendekatan holistik.
Teori konvergensi bisa dibilang merupakan gabungan dari teori nativisme dan empirisme. Teori ini menggabungkan unsur bakat dan lingkungan atau pendidikan. Kedua unsur tersebut dinilai saling memiliki pengaruh dalam proses perkembangan anak.
Teori konvergensi dipelopori oleh seorang ahli pendidikan asal Jerman, William Stern (1871-1938). Menurut dia, anak yang dilahirkan ke dunia sudah disertai dengan pembawaan baik maupun buruk.
Mengutip buku Psikologi Pendidikan: Implikasi dalam Pembelajaran (2021:17) karangan Fadhilah Suralaga, teori konvergensi meyakini bahwa bakat bawaan anak tidak dapat berkembang secara optimal, apabila tidak ada dukungan dari faktor lingkungannya. Begitu pula sebaliknya, lingkungan yang baik tidak akan menghasilkan perkembangan anak yang ideal, apabila tidak terdapat faktor bakat bawaan.
William Stern, melalui teori ini menyimpulkan bahwa semua yang berkembang dalam diri individu dan melalui hasil pendidikan ditentukan oleh faktor pembawaan sekaligus juga oleh lingkungannya.
Teori konvergensi dipandang lebih realistis dan paling cocok dengan keadaan masyarakat di sekitar kita. Maka itu, teori konvergensi diikuti oleh banyak pakar pendidikan.
a. Sistem Adaptif yang Memadukan Potensi dan Lingkungan
AI-Driven Adaptive Learning: Platform seperti DreamBox Learning menggunakan AI untuk mengidentifikasi kemampuan bawaan siswa (berdasarkan data awal) dan menyesuaikan materi dengan pengalaman belajar mereka.
Hybrid Learning: Kombinasi pembelajaran sinkron (langsung dengan guru) dan asinkron (belajar mandiri melalui platform) memungkinkan siswa mengembangkan potensi bawaan sekaligus belajar dari pengalaman.
b. Pembelajaran Kolaboratif
Forum Diskusi dan Komunitas Belajar: Platform seperti Edmodo atau Coursera memungkinkan siswa berbagi pengalaman belajar dan berinteraksi dengan siswa lain, sehingga mengembangkan kemampuan bawaan melalui lingkungan yang mendukung.
Proyek Kolaborasi Digital: Misalnya, siswa dari berbagai latar belakang bekerja sama dalam satu proyek, menggabungkan kemampuan bawaan masing-masing untuk menyelesaikan tugas.
c. Pengembangan Kecerdasan Majemuk
Konvergensi ini terlihat dalam platform yang mendukung berbagai jenis kecerdasan, seperti kecerdasan linguistik, logika-matematika, atau kinestetik. Platform ini memberikan opsi pembelajaran yang berbeda sesuai potensi individu, tetapi tetap berbasis pengalaman, misalnya:
Video pembelajaran untuk kecerdasan visual-spasial.
Eksperimen interaktif untuk kecerdasan kinestetik.
Studi Kasus Platform Pembelajaran Digital
Khan Academy: Menerapkan teori konvergensi dengan menyediakan materi personalisasi berbasis tes kemampuan awal dan interaksi langsung dengan konten pembelajaran.
Duolingo: Menggunakan prinsip empirisme dengan pendekatan gamifikasi untuk mendorong pembelajaran melalui pengalaman.
Coursera: Menggabungkan teori nativisme (kursus berdasarkan minat dan potensi individu) dan empirisme (belajar dari pengalaman melalui proyek dan diskusi).
Google Classroom: Memadukan fitur assessment awal (nativisme) dengan pengalaman kolaboratif (empirisme) untuk mendukung teori konvergensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H