Salah satu sektor penting yang harus diperhatian secara khusus oleh negara adalah sektor pendidikan. Dikatakan demikian karena pendidikan menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tentunya berguna bagi perkembangan bangsa ini ke depan.
Salah satu bentuk dari besarnya perhatian dan kepedulian bangsa ini terhadap sektor pendidikan, yakni menyediakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap kelangsungan proses pendidikan di setiap sekolah di seluruh pelosok tanah air.
Pada tahun 2020 ini, jumlah anggaran untuk pendidikan, yakni RP 505,8 triliun. Angka ini hanya meningkat 2,7 % dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 492, 5 triliun (katada.co.id).
Meningkatnya anggaran negara untuk pendidikan tersebut tentu sesuai dengan amanat konstitusi. Sebagaimana yang sudah kita pahami bersama bahwa untuk tahun 2020, negara mengalokasikan 20 % dari APBN untuk kelancaran proses pendidikan di Indonesia.
Apakah anggaran besar meningkatkan kualitas pendidikan?
Pertanyaan ini menjadi sangat penting karena satu-satunya tujuan dari besarnya anggaran negara untuk sektor pendidikan adalah demi terciptanya manusia Indonesia yang terdidik dan berkualitas.
Jawaban atas pertanyaan itu, penulis dengan tegas katakan: hingga saat ini, kualitas pendidikan di negeri ini belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Besarnya alokasi anggaran APBN untuk sektor pendidikan, tidak disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini.
Rendahnya kualitas penddikan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
Pertama, rendahnya kualitas guru. Guru adalah agen perubahan pendidikan. Sebagai agen, maka kualitas guru menjadi sangat penting dalam proses pendidikan di setiap sekolah. Namun, sayang seribu sayang, banyak guru yang tidak berkualitas di negara ini. Mereka tidak berkompeten di bidangnya.
Fakta ini sangat kelihatan jika pembaca mencoba melakukan studi lapangan atau mengunjungi sekolah-sekolah: TK,SD,SMP dan SMA di seluruh pelosok tanah air. Di sana akan ketahuan bahwa banyak guru yang cara mengajarnya tidak jelas. Bahkan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dari peserta didik, terutama pertanyaan dari siswa/i di Sekolah Menengah Atas (SMA).