Di tengah derasnya gelombang penolakan perencanaan pembangunan pabrik semen di Manggarai, Gubernur NTT, Viktor Laiskodat mengunjungi Uskup Keuskupan Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat. Pertemuan pejabat politik dan pejabat gereja ini berlangsung pada Selasa, 23 Juni 2020, seperti dilangsir dari (floresa.co, 23/06/2020).
Sekadar untuk diketahui oleh pembaca bahwa situasi di Manggarai-NTT saat semakin memanas, bukan karena serangan Covid-19.
Bukan juga karena politik menjelang pilkada 2020, melainkan terkait rencana pembangunan pabrik semen di dua lokasi di Manggarai Timur, yakni Lengko Lolok dan Kampung Luwuk. Perencanaan pabrik semen ini diinisiasi oleh Laiskaodat dan Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas.
Bupati Andreas dan tuan Gubernur Laiskodat bersepakat untuk menghadirkan PT. Singa Merah yang berinduk ke perusahaan Hongsi asal Cina, untuk membangun pabrik semen di dua lokasi tersebut.
Baik Gubernur maupun Bupati memiliki alasan praktis untuk menerima pabrik semen, yakni demi keuntungan masyarakat sendiri.
Bupati Andreas beralasan bahwa pembangunan pabrik semen dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Manggarai terutama untuk masyarakat yang terkena dampak pabrik semen. Mengingat kondisi masyarakat di lokasi tersebut berada di bawah garis kemsikinan. Saat ini masyarakat di sana sangat menderita.
Sementara Gubernur Laiskodat berpandangan bahwa saat ini NTT membutuhkan semen dalam jumlah yang banyak, sehingga suka tidak suka pembangunan pabrik semen ini harus dilakukan. Karena dengan banyaknya persediaan semen dapat memudahkan masyarakat untuk membangun rumah yang berbahan dasar semen, serta untuk kebutuhan lainnya.
Menanggapi rencana Bupati dan Gubernur, masyarakat di lokasi yang akan dijadikan tempat pembangunan pabrik semen secara umum menerima kehadiran pabrik tersebut.
Namun, beberapa kepala keluarga di dua lokasi itu dan masyarakat Manggarai yang tersebar di banyak daerah di Indonesia pada umumnya menolak rencana kehadiran pabrik semen tersebut.
Adapun dasar penolakan masyarakat Manggarai diaspora, yakni kerusakan lingkungan dan kerusakan nilai-nilai budaya.