Lihat ke Halaman Asli

suherman agustinus

Dum Spiro Spero

Ketika Masyarakat di Pedesaan Menjadi Korban Politik Adu Domba

Diperbarui: 23 Juni 2020   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang ibu  sedang memasukan surat suara  pada saat Pemilihan Kepala Desa (Sumber Gambar: jurnaljabar.id)

Salah satu momen yang paling seru di desa adalah Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Pilkades bagi masyarakat di daerah saya, di Manggarai lebih seru jika dibandingkan dengan Pemilihan Bupati (Pilbup), Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan Pemilihan Presiden (Pilpres).

Dikatakan lebih seru karena pada saat Pilkades banyak konflik yang muncul karena politik adu domba yang dilakukan oleh calon-calon pejabat desa. Di sana terjadi perang argumentasi, hujat menghujat dan perdebatan panas terutama menjelang Pilkades, yang akhirnya menimbulkan perpecahan dalam keluarga dan masyarakat.

Banyak keluarga yang terpecah hanya karena perbedaan pilihan politik. Misalnya orang tua memilih si A menjadi Kades, sementara anaknya memilih si B. Perbedaan tersebut seringkali merusak relasi kekeluargaan antara orang tua dengan anak.

Dampak lanjutnya, orang tua akhirnya tidak lagi merasa memiliki anak yang punya pilihan politik yang berbeda. Demikian sebaliknya, si anak tidak merasa memiliki orang tua yang memiliki pilihan politik yang berbeda dengannya.

Lebih parah lagi, ketika setelah Pemilihan Kepala Desa selesai, mereka tidak memiliki kesadaran untuk bersatu lagi sebagai satu keluarga. Mereka gengsi untuk saling meminta maaf. Padahal mereka tahu bahwa harta yang paling berharga di dunia ini adalah keluarga, bukan politik. Keluarga tak dapat digantikan oleh politik.

Saya yakin bahwa kejadian seperti ini tidak hanya terjadi di Manggarai. Di daerah-daerah lain juga pasti terjadi hal yang serupa. Hanya mungkin belum pernah diulas di kompasiana. Konflik karena beda pilihan seperti itu tentu saja merusak citra politik dan demokrasi di negara ini.

Pilkades yang sejatinya sebagai kesempatan yang baik untuk memilih Kepala Desa (aktor perubahan) yang memiliki visi-misi untuk kesejahteraan masyarakat, justru menimbulkan konflik  horizontal antara masyarakat.

Apalagi masyarakat di pedesaan tidak dibekali dengan pendidikan politik yang memadai. Sehingga setiap Pemilihan Kepala Desa dalam  lima tahun sekali, pasti terjadi konflik yang sama. Sementara itu, Kepala Desa yang kemudian terpilih merasa tidak terlibat dalam konflik tersebut. Kades terpilih kemudian sibuk menghabiskan dana desa yang miliaran rupiah itu. Sedang masyarakat yang terpecah terpaksa harus menerima kenyataan pahit yang terjadi.

Lantas, kepada siapa mereka harus mengadu?

Apakah mereka harus mengadu pada Presiden sebagai kepala negara? Apakah mereka mesti melapor kepada Polisi? Ataukah memaksa Kepala Desa terpilih agar membantu mereka untuk bersatu kembali sebagai keluarga? Tentu saja, TIDAK.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline