Alhamdulillah Rejeki Anak Soleh: Apakah Ini Tanda Kesolehan atau Keangkuhan Moral? Coba Tanyakan ke Diri kita, Self label Seperti ini Apakah di Benarkan dalam Agama?
Di tengah derasnya arus kehidupan, ungkapan "Alhamdulillah rejeki anak soleh" sering kali terdengar sebagai ungkapan syukur atas keberkahan yang diterima. Namun, di balik ucapan itu, terselip pesan tersendiri yang berpotensi memunculkan kesan keangkuhan moral. Apakah ucapan tersebut justru menciptakan persepsi bahwa orang yang diberkahi adalah lebih soleh dan lebih baik dari yang lainnya? Artikel ini mengupas fenomena tersebut secara kritis, mengingatkan bahwa rezeki adalah anugerah Allah untuk semua,Baik Anak Soleh Maupun Anak tidak Soleh, yang Merupakan Bukti Kemahaadilan Allah, dan mengajak kita untuk senantiasa merendahkan hati serta berprasangka baik terhadap sesama Dengan Tidak Merasa Lebih Unggul Daripada Orang Lain.
1. Fenomena Ucapan dan Label Moral
Ucapan "Alhamdulillah rejeki anak soleh" kerap digunakan sebagai simbol keberkahan dan bukti keimanan. Di mata banyak orang, keberkahan rezeki dianggap sebagai indikator kesolehan seseorang. Namun, penggunaan ungkapan ini dapat memunculkan label moral yang membandingkan antara yang "diberkahi" dan yang "tidak." Dengan demikian, tanpa disadari, ucapan ini berpotensi menciptakan hierarki keunggulan moral yang seharusnya tidak ada.
2. Allah Memberikan Rezeki Kepada Siapapun
Dalam realitas kehidupan, Allah memberikan rezeki kepada siapapun, entah itu orang soleh maupun tidak soleh. Keberkahan yang datang bukanlah tanda mutlak kesolehan, melainkan anugerah yang tersebar tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, janganlah kita suka melabeli diri sendiri sebagai orang soleh hanya karena menerima rezeki. Melakukan hal tersebut adalah sesuatu yang dilarang dan tidak sejalan dengan ajaran untuk selalu merasa bahwa orang lain lebih baik daripada kita. Sikap inilah yang mendorong kita untuk selalu berprasangka baik terhadap sesama dan menjaga kerendahan hati.
3. Realita Sosial di Balik Rezeki
Di era media sosial, ucapan "Alhamdulillah rejeki anak soleh" sering dijadikan caption yang memamerkan keberkahan. Padahal, rezeki yang diterima tidak selalu berkaitan langsung dengan tingkat kesolehan atau keimanan seseorang. Banyak faktor eksternal seperti kondisi ekonomi, peluang usaha, dan kebijakan pemerintah turut menentukan arus rezeki. Misalnya, seorang kuli bangunan yang bekerja keras setiap hari mungkin menerima rezeki yang pas-pasan, sementara seorang pekerja kantoran dengan cara kerja yang lebih fleksibel mendapatkan penghasilan yang lebih stabil. Keberkahan itu bersifat universal dan tidak seharusnya menjadi alat untuk menilai moral seseorang.
4. Dampak Psikologis dan Sosial dari Label Moral
Melabeli diri sendiri sebagai "anak soleh" karena rezeki yang diterima dapat menimbulkan dampak psikologis dan sosial yang kurang positif. Sikap semacam itu mengundang perasaan sombong dan mengasingkan diri dari nilai kebersamaan. Kita seharusnya tidak membandingkan diri dengan orang lain, melainkan menumbuhkan rasa empati dan kebersamaan. Menganggap bahwa orang lain lebih baik daripada kita adalah bentuk kesadaran untuk terus belajar dan tumbuh, serta membuka ruang bagi keikhlasan dalam menerima nasib masing-masing.
5. Solusi: Merendahkan Hati dan Berprasangka Baik