Lihat ke Halaman Asli

Suherman

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Skema Pajak 2025: Antara Kebutuhan Fiskal dan Tantangan Ekonomi

Diperbarui: 17 Desember 2024   09:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Keuangan Source: Dalle 

Perubahan besar dalam kebijakan perpajakan Indonesia telah dirancang untuk mulai diterapkan pada tahun 2025. Salah satu langkah yang paling menonjol adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2025, dengan tujuan meningkatkan penerimaan negara di tengah dinamika ekonomi global dan domestik.

Namun, kenaikan PPN ini tidak sepenuhnya berlaku secara merata. Pemerintah berencana memberikan insentif berupa PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 1% untuk barang-barang kebutuhan pokok tertentu, seperti tepung terigu, minyak goreng curah, dan gula industri. Dengan demikian, konsumen hanya akan membayar PPN sebesar 11% untuk produk-produk esensial ini, guna menjaga daya beli masyarakat.

Di sektor otomotif, skema perpajakan baru juga akan diterapkan. Mulai 2025, pemerintah akan memperkenalkan tambahan opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), berdasarkan UU No. 1 Tahun 2022. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kontribusi daerah dalam pengelolaan fiskal, meskipun berpotensi menambah beban bagi pemilik kendaraan.

Indonesia juga tengah bersiap mengikuti tren global melalui penerapan pajak minimum global, sesuai kerangka kerja yang diinisiasi oleh OECD dan G20. Dimulai dengan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT) dan Income Inclusion Rule (IIR) pada Januari 2025, kebijakan ini bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak lintas negara. Sementara itu, aturan lain, yakni Undertaxed Payment Rule (UTPR), direncanakan menyusul pada tahun berikutnya.

Di sisi lain, target rasio perpajakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 justru sedikit menurun menjadi 10,09-10,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dibandingkan dengan 10,31% pada tahun 2023. Penurunan ini memunculkan pertanyaan tentang kemampuan pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal di tengah upaya menggenjot penerimaan.

Pengamat menyoroti bahwa kenaikan tarif PPN ini menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang kompetitif dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Tarif PPN di negara seperti Malaysia, Thailand, dan Kamboja cenderung lebih rendah, sehingga berpotensi memengaruhi daya saing Indonesia dalam menarik investasi dan mendukung konsumsi domestik.

Secara keseluruhan, skema pajak 2025 mencerminkan ambisi pemerintah untuk menyeimbangkan kebutuhan fiskal dengan tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Meski begitu, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada implementasi yang efektif dan kemampuan pemerintah dalam merespons dampak yang mungkin timbul terhadap masyarakat maupun dunia usaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline