Lihat ke Halaman Asli

Suhendrik N.A

Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Ketika Candaan Menjadi Petaka: Beban Humor Seorang Pendakwah

Diperbarui: 4 Desember 2024   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Humor, pada dasarnya, adalah seni menyampaikan kehangatan melalui tawa tanpa melukai. Namun, di tengah kerumitan kehidupan sosial, humor sering kali dipisahkan oleh garis-garis halus yang tak kasatmata---terkadang berupa kasta sosial yang tidak adil. Ketika candaan datang dari seseorang tanpa gelar atau embel-embel tertentu, ia mungkin dianggap ringan, lucu, bahkan dilupakan dalam hitungan detik. Namun, lain cerita jika humor itu berasal dari seorang pendakwah. Gelombang interpretasi seakan menggelegar lebih keras, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya harus penuh makna dan bebas cela.

Pendakwah, di mata masyarakat, adalah figur moralitas, seorang penjaga nilai dan nasihat. Posisi ini bukan hanya tentang peran, melainkan tentang ekspektasi yang membebani. Apa pun yang mereka katakan, termasuk humor, hampir selalu ditafsirkan sebagai refleksi dari ajaran yang mereka sampaikan. Sebuah lelucon sederhana pun sering disalahpahami sebagai pesan tersembunyi, kritik sosial, atau bahkan sindiran kepada pihak tertentu. Padahal, barangkali mereka hanya ingin mencairkan suasana, mencoba menjembatani jarak antara dirinya dan jamaahnya melalui tawa.

Namun, ekspektasi yang begitu tinggi menciptakan lingkaran penghakiman yang sulit ditembus. Pendakwah, meski manusia biasa dengan hak untuk bersalah dan bercanda, sering kali kehilangan sisi manusiawinya. Apa yang terlihat wajar pada komedian, seperti lelucon satir atau sarkasme, bisa berubah menjadi bahan kontroversi besar ketika dilakukan seorang ustaz. Dalam situasi ini, candaan bukan lagi sekadar alat menciptakan tawa; ia berubah menjadi pedang bermata dua---siap disalahartikan atau digunakan untuk menjatuhkan.

Kondisi ini mencerminkan standar ganda yang nyata di masyarakat. Di satu sisi, kita ingin pendakwah tetap membumi, dekat dengan jamaahnya, bersikap santai seperti manusia biasa. Namun, di sisi lain, kita menempatkan mereka di atas pedestal yang kaku, di mana setiap gerak dan kata harus sempurna, seolah tanpa celah. Akibatnya, banyak pendakwah memilih bermain aman, membungkam sisi humoris mereka demi menghindari risiko salah tafsir. Tapi bukankah ini ironis? Bagaimana bisa kita berharap mereka menjadi manusiawi jika ruang untuk menjadi manusia saja kita sempitkan?

Renungkan sejenak: Mengapa kita memberi kasta pada humor? Mengapa humor seorang pendakwah harus ditimbang lebih berat daripada humor seorang biasa? Jika kita bisa menghilangkan dinding pembatas ini, mungkin dunia akan menjadi tempat yang lebih ringan. Tawa itu universal. Ia tidak mengenal kasta atau profesi. Humor, sejatinya, adalah bagian dari kehidupan manusia yang tak memandang pangkat atau gelar.

Maka, alangkah baiknya jika kita belajar untuk lebih bijak menafsirkan humor, termasuk dari para pendakwah. Izinkan mereka sesekali melepaskan beban moralitas yang kita pakaikan. Biarkan mereka tertawa, bercanda, dan menjadi manusia. Dengan begitu, dakwah yang mereka bawa akan terasa lebih hangat, lebih hidup, dan lebih dekat---tanpa harus kehilangan esensinya. Dan barangkali, dengan tawa yang lebih luas, kita pun akan lebih mengerti bahwa humor, sejauh itu tidak melukai, sejatinya adalah anugerah yang seharusnya dirayakan, bukan dibebani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline