Lihat ke Halaman Asli

Suhendrik N.A

Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Nasib Pengangguran Bergelar Sarjana di Desa

Diperbarui: 10 Oktober 2024   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pria (Pixabay)


Di era modern ini, gelar sarjana sering dianggap sebagai kunci menuju kesuksesan. Namun, kenyataan sering kali berbeda, terutama bagi mereka yang tinggal di desa. Pengangguran di kalangan sarjana di desa merupakan fenomena yang kompleks dan menyedihkan.

1. Keterbatasan Peluang Kerja

Di banyak desa, kesempatan kerja untuk lulusan sarjana sangat minim. Ekonomi lokal umumnya didominasi oleh sektor pertanian dan usaha kecil, yang tidak selalu membutuhkan tenaga kerja terdidik. Perusahaan besar lebih memilih membuka cabang di kota-kota besar, di mana infrastruktur dan pasar lebih mendukung. Akibatnya, banyak sarjana di desa terpaksa menganggur atau menerima pekerjaan di luar bidang studi mereka, yang tidak sesuai dengan harapan dan impian yang selama ini mereka miliki.

2. Kesenjangan Keterampilan

Kurikulum pendidikan di perguruan tinggi sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan dunia kerja yang dinamis. Banyak lulusan merasa bahwa pendidikan yang mereka terima tidak mempersiapkan mereka untuk tantangan nyata di lapangan. Misalnya, keterampilan teknis dan soft skills seperti komunikasi, kolaborasi, dan pemecahan masalah sering kali kurang ditekankan. Hal ini menciptakan kesenjangan antara apa yang dipelajari dan apa yang dibutuhkan oleh perusahaan, sehingga membuat lulusan sarjana kesulitan untuk bersaing di pasar kerja.

3. Stigma Sosial

Menjadi pengangguran dengan gelar sarjana di desa membawa stigma sosial yang berat. Di mata masyarakat, gelar sarjana seharusnya menjamin kesuksesan. Ketika seseorang tidak dapat menemukan pekerjaan, mereka sering dianggap gagal atau tidak berusaha dengan cukup keras. Tekanan dari keluarga dan lingkungan sekitar dapat menyebabkan perasaan malu dan rendah diri. Banyak lulusan merasa terasing dan tidak dihargai, yang dapat memicu masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, dan kehilangan motivasi untuk mencari peluang baru.

4. Harapan yang Terkubur

Keterbatasan ini mengakibatkan banyak sarjana merasa terjebak dalam situasi yang tidak memuaskan. Meskipun mereka memiliki impian dan aspirasi besar, kenyataan yang dihadapi sering kali mengecewakan. Banyak yang merasa bahwa waktu dan usaha yang mereka curahkan untuk pendidikan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Rasa frustrasi ini bisa mengakibatkan hilangnya semangat untuk mengejar impian, dan banyak yang beralih ke pilihan hidup yang lebih sederhana tanpa memanfaatkan potensi yang dimiliki.

5. Transformasi Tak Terduga

Namun, di tengah ketidakpastian ini, beberapa sarjana mulai mengeksplorasi bakat dan minat lain. Mereka menemukan bahwa dunia kreatif, seperti wirausaha, seni, atau penulisan, menawarkan peluang yang tak terduga. Melalui usaha dan ketekunan, karya-karya mereka berhasil menarik perhatian.

Alih-alih terjebak dalam narasi kegagalan, mereka menyadari bahwa keberhasilan tidak selalu diukur dari status pekerjaan formal. Banyak yang menemukan identitas baru dan makna dalam hidup mereka, terlepas dari stigma sosial yang mengelilingi mereka.

Di akhir perjalanan, gelar sarjana mereka bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan menjadi bagian dari proses penemuan diri yang lebih dalam. Dengan keberanian untuk beradaptasi dan menciptakan peluang sendiri, mereka menunjukkan bahwa setiap perjalanan memiliki potensi untuk membawa hasil yang tak terduga dan memuaskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline