Lihat ke Halaman Asli

Suhendrik N.A

Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Politik itu Tidak Kaku, Tapi Seni Negosiasi yang Sering Dilupakan

Diperbarui: 11 September 2024   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Kita sering terjebak dalam pandangan bahwa politik adalah medan yang kaku, penuh aturan tak tergoyahkan, dan keputusan yang diambil hanya berdasarkan kekuatan dominan. Namun, esensi politik yang sebenarnya adalah seni negosiasi. Sayangnya, banyak pemangku kepentingan sengaja memainkan peran untuk menciptakan kesan bahwa politik itu saklek dan tidak fleksibel, demi melindungi kepentingan mereka sendiri.

Padahal, politik seharusnya menjadi proses di mana berbagai kepentingan, pandangan, dan aspirasi disatukan untuk mencapai konsensus. Dalam demokrasi, misalnya, keputusan terbaik sering lahir dari dialog terbuka, bukan dari sikap keras kepala yang menolak kompromi. Namun, narasi yang dipertontonkan kepada publik sering kali mengedepankan konflik dan ketegangan, mengabaikan bahwa politik yang sukses justru terjadi ketika pihak-pihak yang berbeda bersedia duduk bersama dan menemukan titik temu.

Lantas, mengapa politik sering terlihat begitu kaku? Salah satu jawabannya adalah strategi para pemangku kepentingan yang ingin mempertahankan posisi mereka. Dengan menunjukkan sikap yang tegas dan tidak mau berkompromi, mereka menampilkan citra sebagai pemimpin kuat yang tahu apa yang terbaik. Dalam pandangan ini, negosiasi dianggap sebagai tanda kelemahan. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah manipulasi persepsi publik agar politik tampak seperti permainan kekuatan absolut, tanpa ruang untuk dialog.

Citra politik yang kaku ini juga membuat masyarakat apatis dan menjauh dari partisipasi. Ketika publik melihat bahwa politik hanya soal kemenangan pihak yang dominan, mereka merasa suara mereka tak berarti, dan akhirnya memilih untuk tidak terlibat. Ini memberi celah bagi para pemimpin untuk beroperasi tanpa pengawasan kritis dari masyarakat, memperkuat kekuasaan tanpa harus mencari solusi yang lebih inklusif dan adil.

Sebenarnya, di balik layar, negosiasi dan kompromi tetap terjadi---tetapi sering kali tertutup dari pandangan publik. Proses legislasi, misalnya, melibatkan banyak tawar-menawar antara partai politik, kelompok kepentingan, dan pejabat pemerintahan. Kebijakan yang dihasilkan dari proses ini jarang sepenuhnya mencerminkan satu suara, melainkan hasil dari perundingan yang panjang. Hanya saja, narasi politik yang disajikan sering kali berbeda dari kenyataan yang terjadi di balik pintu tertutup.

Dengan menggambarkan politik sebagai sesuatu yang tidak bisa dinegosiasikan, para pemangku kepentingan menjaga citra ketegasan, meski di baliknya ada banyak kompromi yang dibuat. Pada akhirnya, publik harus memahami bahwa politik tidak sekaku yang terlihat. Ia dinamis, melibatkan negosiasi dan fleksibilitas untuk mencapai hasil yang paling baik bagi masyarakat luas.

Politik sejati adalah tentang menciptakan dialog yang inklusif, bukan mempertahankan kekakuan yang menghalangi solusi. Saat kita mulai memahami bahwa negosiasi adalah jantung dari politik yang sehat, kita bisa membangun ruang yang lebih terbuka dan partisipatif. Dengan begitu, politik bisa kembali menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan sekadar arena pertarungan kekuatan yang tak berujung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline