Patriarki itu apa si?, jika kita menelusuri kata patriarki di halaman pencarian google, maka yang paling pertama kita temui ialah pengertian patriarki dari situs yang cukup ternama yaitu Wikipedia. Dalam Wikipedia dijelaskan bahwa patriarki itu sebuah system sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas, moral, hak sosial, dan penguasa property.
"Lantas budaya patriarki ini berawal sejak kapan si?"
Budaya patriarki ini telah ada sebelum manusia mengenal tulisan, pada saat itu budaya partiaki ini secara tidak langsung telah terjadi; dimana kaum laki-laki berkerja diluar hunian, seperti berburu dan mencari makanan, pada masa dimulainya bercocok tanam pun yang dimana sebagai alternatif baru dalam pekerjaan masih dikerjakan oleh lelaki.Lantas perempuan pada masa itu berbuat apa?, pada zaman tersebut melihat perempuan yang memiliki sifat lembut dan kalem, mereka bertugas untuk menjaga anak, memasak hasil buruan, dan mengumpulkan buah-buahan di dekat rumah.
Terlihat seperti adil bukan?, hingga saat ini pun pembagian pekerjaan seperti ini terus berulang hingga zaman modern ini, dimana para lelaki melakukan kegiatan yang berat-berat, sedangkan perempuan hanya mengerjakan sesuatu yang ringan saja. Namun ada yang bahaya dalam hal ini, coba kita pikirkan lebih dalam dan liar. Mungkin saja ada niat terselubung dalam budaya ini dimana ada motivasi tertentu yang mengatas namakan ini semua, bukan kah dari sisi perempuan pun punya keinginan dan harapan besar untuk tetap berkarya dan berprestasi?. Seakan dari sisi orangtua pun seperti mengamini budaya ini, sehingga mereka pun secara tidak sadar mewariskan budaya ini dengan perkatanya yang tertanam di kepala kita. Mereka selalu berkata kepada kita dan memberikan contoh kepad kita dari kecil hingga kini, bahwa perempuan itu tidak boleh jorok, harus dirumah saja, harus lemah lembur, dan seterusnya.
Hebatnya lagi system kapitalisme juga ikut andil dalam penanaman paham patriarki ini. Coba kita perhatikan lebih seksama lagi, kalian tau kan iklan busana, kosmetik, semua seakan-akan menggambarkan bahwa perempuan itu hanya memikirkan penampilannya saja. Lantaran itu pula akhirnya perempuan secara tidak langsung terdoktrin lantaran selalu terbombardir oleh itu semua.
Disadari atau tidak kitapun melakukan kegiatan patriarki tersebut, lantaran kita sering bersembunyi dalam kata adat itiadat dan jua agama, dimana tak sedikit kita menyelewengkan adat dan agama untuk kepentingan sendiri. Dalam adat dan agama sering kali menempatkan posisi laki-laki sebagai pemimpin/ laki-laki memiliki derajat lebih tinggi, lantaran bertamengkan itu akhirnya kita mengamini bahwa perempuan tidak boleh berpendapat. Padahal dalam agama dan adat itu sebenarnya tidak akan menjadi pokok permasalah jika saja perempuan berhak maju dan mewujudkan keinginanya.
Jika saja kita lebih teliti lagi atas percakapan kita sehari-hari, contohnya seperti kalimat "Anak laki harus paksain" atau "Cowok itu harus kuat dan gak boleh nangis", sementara untuk perempuan pasti juga tidak asing dengan kalimat "dasar manja!" atau "lemah tak berdaya". Entah kita dengar dari teman atau bahkan orang tua kita sendiri. Bahkan jika kita lebih teliti lagi, banyak doktrin-doktrin halus mengenai budaya patriarki ini, baik melalui media tulis, film, komik, dan sebagainya. Kita ambil contoh simpelnya seperti tontonan kita ketika kecil, anak laki-laki akan selalu diberikan tontonan seperti Boboiboy, Scooby doo, dan seterusnya. Sedangkan perempuan diberikan tontonan berbie, dora the expoler, frozen, dan seterusnya. Dalam film kartun yang saya sebutkan tadi juga secara tidak langsung memuat konten-konten mengenai patriarki ini.
Jika kita menulusuri lebih jauh lagi dihalaman pencarian mengenai budaya patriarki, kita akan menemukan bahwa perjuangan kesetaraan gender ini di Indonesia sendiri sejak dahulu selalu di perjuangkan. Kita tentu familiar dengan quotes "Habis Gelap terbitlah Terang" yang di gaungkan oleh Ibu R.A Kartini. Dengan dilatarbelakangi olehpembatasan perempuan untuk memperoleh pendidikan formal di masa lalu, Beliau mulai melakukan perjuangannya denga mengkampanyekan kesetaran gender melalu tulisan-tulisannya. Tak jarang tulisanya pun dimuat dalam sebuah majalah Belanda "De Hollandsche Lelie". Sejak saat itu, sebuah gagasan baru mengenai persamaan hak bagi wanita pribumi mampu mengubah pandangan masyarakat luas.
Namun anehnya sehebat apapun perjuangan beliau mengenai penghapusan budaya patriarki ini, hingga saat ini masih sering kita temukan kasus-kasus prihal budaya ini. Masih menjamurnya bahkan dapat kita bilang hebatnya budaya patriarki ini berkembang. Sehingga perjuangan beliau masih terus digaungkan. Masih sering kita lihat dengan mata terbuka lebar, tidak sedikit di daerah kita tinggal budaya ini terus dilakukan, seperti: anak perempuan yang tidak diizikan melanjutkan pendidikan tinggi, perempuan harus pandai mengurus rumah, dipandang sebelah matanya kepemimpinan dipegang oleh perempuan. Bahkan ketika saya (penulis disini) mengenyam pendidikan SMA sederajat, budaya patriarki ini seakan tumbuh subur dalam sekolah, contohnya ketika pemilihan ketua OSIS di SMA tersebut ketika yang mencalonkan diri ada perempuan disana, walapun perempuan tersebut memiliki kemampuan baik akademik maupun non akademik lebih baik ketimbang calon lainya yang kebetulan laki-laki dan jua hanya ada dua calon tersebut. Secara ajaib para panitia pemilihan dengan disetujui langsung oleh dewan guru mengangkat yang laki-laki tersebut dengan dalih alasan laki-laki yang lebih pantas dan baik menjadi pemimpin. Bisa disimpulkan bahwa pemilihan kemarin hanya formalitas semata, karena jika ditilik dari hasil perhitungan suara seharusnya perempuan lah yang layak menjadi pemimpin.
Bagi saya seharusnya kesadaran mengenai budaya patriarki ini harusnya ditanam sejak bangku SMA setidaknya. Serta kita sebagai agent of change bisa memberikan edukasi secara ringan kepada masyarakat mengenai pentingnya keseragaman gender ini, sehingga budaya patriarki di Indonesia sedikit berkurang. Mungkin harapan saya ini terlalu besar mengenai hal ini, namun apa salahnya jika kita bermimpi suatu saat nanti Indonesia bisa terlepas dari budaya patriarki ini. Sebenarnya jua, hal ini bisa diubah kalau masing-masing laki-laki dan perempuan tidak diperlakukan dengan cap-cap tertentu. Kesetaaran bisa didapat kalau masing-masing tidak dianggap harus ini dan itu di luar kemampuan mereka. Dengan begitu pun, tidak ada semacam "balas dendam" dari laki-laki ke perempuan maupun sebaliknya untuk menjadi apa yang diharapkan masyarakat.