Lihat ke Halaman Asli

Dr Ing. Suhendra

Konsultan, technopreneur, dosen, hobby traveller

Anak Saya Akhirnya Jadi WNI!

Diperbarui: 9 Februari 2025   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paspor Indonesia dan Jerman (Sumber: Foto pribadi)

Anak Saya Akhirnya Jadi WNI!

Oleh: Dr.-Ing. Suhendra

(Pengamat Sosial, Budaya dan Teknologi Jerman)

Tepat sepuluh tahun yang lalu, saya duduk di ruang tamu, memandangi paspor hijau tua yang baru saya ambil dari KBRI Berlin. Kalau tidak saya ceritakan lika-likunya disini, banyak yang merasa paspor WNI saya saya terima itu hanya dari ukurannya yang kecil. Tapi dibalik cerita dan lika-liku menerima rangkaian Takdir Ilahi, cerita dibalik itu semua membuat saya merasa berat buku hijua kecil hijau itu seolah berlipat ganda dari batu bata. Hari itu, anak saya akhirnya resmi menjadi Warga Negara Indonesia (WNI)! Perjalanan panjang, penuh lika-liku, selain menunggu anak pertama tercinta setelah 15 tahun usia pernikahan, dan tentunya---sesuai tradisi negeri tercinta kita---dihiasi dengan proses administrasi yang unik dan tak terduga.

Kenangan itu mendadak muncul kembali di benak saya saat melihat berita tentang beberapa pemain bola asing yang baru saja dinaturalisasi menjadi WNI. Sebut saja yang terakhir adalah Ole Romeny, warga negara Inggris yang berbahagia menjadi WNI sepeti saya. Kesannya, prosesnya terarah. Pastinya, ada tim yang bergerak cepat menawarkan status WNI, secepat operan tiki-taka Barcelona di masa jayanya. Tak perlu melalui drama berbulan-bulan, akhirnya publik mengetahu dari konferensi pers, mereka siap membela Garuda. Ah, andai dulu anak saya bisa secepat itu mendapat status WNI, mungkin saya tak perlu dua kali bolak-balik Leipzig-Jakarta untuk mengurusnya.

Ingatan saya terbang kembali ke sebelas tahun lalu. Akhirnya buah hati yang kami nanti di usia pernikahan kami kelima belas lahir di kota Leipzig, Jerman,  tepat setelah azan subuh berkumandang. Tapi tentu, jangan bayangkan ada suara muazin dari menara masjid, ini Leipzig, bukan Yogyakarta atau di manapun di Indonesia. Hanya kebetulan waktu lahirnya cocok dengan waktu azan di Indonesia. Sekitar jam lima pagi. Beberapa jam kemudian, sekitar jam 8 pagi, seorang petugas administrasi datang untuk mencatat semua bayi yang lahir, termasuk anak saya. Jerman memang tertib, urusan pendataan mereka seefisien kereta api mereka---kalau bisa tidak perlu telat, tidak perllu ada yang macet.

Petugas itu langsung menanyakan nama anak saya. Di Jerman, aturan sudah jelas: orang tua harus sudah menyiapkan nama sebelum anak lahir. Tentu, kebiasaan ini tidak seperti di Indonesia, di mana kadang banyak keluarga secara resmi memberikan nama anak pada waktu tujuh hari setelah kelahiran anak. Alasannya, bermacam-macam, misal perlu musyawarah keluarga besar, mempertimbangkan nama yang mengandung makna mendalam, nama yang enak diucapkan, yang lagi viral, atau bahkan, seperti yang sering terjadi, nama yang harus disepakati oleh nenek, kakek, paman, dan kebiasaan orang sekampung. Di Jerman? Nama harus ada di tempat dan waktu yang ditentukan. Saat lahir, di Jerman nama anak sudah ditulis di tempat tidur anak dan ibunya. Tidak bisa ditunda. Bagi mereka, urusan administrasi bukan tempat untuk baper.

Kemudian, saya diminta petugas tersebut untuk datang ke kantor dinas kependudukan Leipzig (Buergerbuero). Semua aturan diberikan di selembar kertas yang tertulis rapi dan jelas. Seminggu kemudian, saya datang sesuai jadwal yang ditentukan---tentu saja dengan akurasi waktu khas Jerman. Pukul 11:40, nama saya dipanggil. Tepat waktu. Begitu duduk, petugas langsung memverifikasi identitas saya dan istri, melihat status kependudukan kami yang tertera sebagai Niederlassungserlaubniss alias permanent residency. Lima menit kemudian, keputusan keluar: anak saya diberikan paspor berwarna merah. Artinya, otomatis anak saya menjadi warga negara Jerman. Hanya dalam lima menit! Tidak perlu menunggu berbulan-bulan, tidak ada persyaratan absurd, tidak ada antrean panjang seperti di Samsat. Kami bertanya: Wie viel sollen wir es bezahlen? (Berapa saya harus membayar paspor ini)? Petugas menjawab: Nicht! (nggak sama sekali).  Separuh takjub, kami pun akhirnya pulang ke rumah dengan tenang.

Tapi, sebagai orang Indonesia, meski resmi anak saya tidak kebingungan legalitas karena sudah menjadi warga resmi Jerman, saya tetap ingin mengurus status kependudukan anak saya sesuai aturan Indonesia. Saya pun berangkat ke KBRI Berlin, sekitar 200 km dari apartemen saya di Leipzig, untuk mengurus status kependudukan anak saya. Sesampai di KBRI, saya menunggu beberapa saat. Sekitar sejam kemudian, saya dipanggil dan saya menceritakan maksud kedatangan saya. Pegawai KBRI yang ramah itu kemudian memberi saya daftar syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya: foto bayi yang proper. Ini menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana cara mengambil foto bayi yang aktif? Akhirnya saya sadar, satu-satunya waktu bayi bisa diam untuk difoto adalah saat dia tidur.

Karena waktu itu kurang persiapan, saya pun pulang dengan tangan hampa. Sebulan kemudian, setelah saya ada waktu dan semua syarat lengkap, saya kembali ke KBRI. Dokumen diterima oleh petugas. Sebelum pulang, saya diberitahu untuk mengecek status paspor anak saya dalam dua bulan ke depan. Dua bulan lagi. Saya jadi sadar, meski ini di Jerman, tapi ini adalah "Indonesia". Jangan bandingkan waktu mengurus paspor anak saya di Leipzig hanya sekitar lima menit. Saya terima saja, karena inilah Indonesia kita tercinta---kita diajarkan untuk bersabar dan bertawakal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline