Lihat ke Halaman Asli

Achmad Suhawi

Politisi Pengusaha

Penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia, Mungkinkah?

Diperbarui: 8 November 2021   02:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA

Indonesia merupakan negara bangsa yang sumber hukumnya didasarkan kepada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Para Founding Fathers menjadikan Pancasila sebagai Grondslag sekaligus sebagai weltanschauung. Menjadikan Pancasila sebagai philosophische grondslag menunjukan bahwa Indonesia tidak mendasarkan dirinya pada salah satu agama tertentu. Philosophische grondslag berarti norma dasar, suatu istilah yang berasal dari bahasa Belanda, dengan dua asal kata yaitu: Lag yang berarti norma dan Gronds atau Grands yang bermakna dasar. Pancasila di dalam sidang BPUPK oleh Bung Karno didefinisikan sebagai fundamen, filosofi, jiwa, hasrat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di bangun Indonesia merdeka yang kekal dan abadi diatasnya. Pancasila disebut pula sebagai Weltanschauung yang memiliki arti sebagai pandangan mendasar. Weltanschauung berakar dari bahasa Jerman dengan asal kata Anschauung dan Welt

Jadi pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 merupakan pedoman dalam mengatur kehidupan penyelenggaraan bangsa dan negara Indonesia. Dengan Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagai pandangan dasar sekaligus norma dasar, maka Indonesia bukan negara Teokrasi atau suatu negara yang disandarkan pada agama tertentu saja, dan bukan pula negara sekuler yang tidak mengakui eksistensi Tuhan YME. Dan Indonesia juga bukan negara yang memisahkan kehidupan keagamaan dengan urusan kenegaraan. Oleh sebab itu, ada banyak produk hukum di Indonesia yang bersumber dari hukum-hukum agama, terutama hukum Islam, seperti keberadaan dan eksistensi dari Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji, termasuk berbagai produk legislasi yang senafas dengan ajaran agama Islam. Artinya, kehadiran dan penerapan dari Undang-undang dengan nafas ajaran Islam menunjukan bahwa pemerintah Indonesia turut berperan aktif dalam pengelolaan kehidupan peribadatan umat, khususnya umat Islam. 

Jadi masalah agama di Indonesia tidak selalu menjadi ranah privat, tetapi ada kalanya menjadi urusan publik, dimana pemerintah turut andil dalam regeluasi guna menjamin tata pelaksanaannya. Keberadaan Kementerian Agama dan Pengadilan Agama merupakan wajud nyata bahwa Indonesia berkehendak untuk menjamin keharmonisan kehidupan keagamaan di tanah air.

Sejalan dengan kenyataan bahwa Indonesia bukan negara teokrasi, maka keberadaan Undang-undang yang bernafaskan Islam dalam praktek pelaksanaannya tidak mutlak, tidak sama dengan pelaksanaan hukum Islam sebagaimana hukum Islam pernah diterapkan di bawah Daulah Islamiyah. Jadi praktek penerapan berbagai hukum yang bernafaskan Islam tidak mutlak seperti yang diterapkan pada masa awal Islam berkembang, Khulafaur Rasyidin, diantaranya adalah penerapan praktek hukum pidana Islam yang dikenal dengan sebutan Jinayat dalam literatur Islam. 

Bahkan bisa disaksikan bersama bahwa Jinayat kurang mendapat perhatian dari kalangan intelektual hukum Islam dan ahli hukum nasional. Ada pandangan yang menilai bahwa kurangnya minat masyarakat untuk melakukan studi dan terobosan hukum islam dalam hal praktek penerapan Jinayat, terutama di Indonesia, karena Jinayat di dunia Islam kurang mendapat perhatian, kecuali di beberapa negara saja, seperti Arab Saudi dan sejumlah negara Islam. Sehingga praktek penerapan hukum Islam pun tergantikan oleh hukum pidana yang berasal dari hukum pidana yang ada di negara – negara barat. Di samping itu, praktek penerapan hukum Islam di Indonesia cenderung dibenturkan dengan sumber-sumber hukum yang lain. Ada asumsi bahwa hukum islam mengalami disharmonisasi dengan hukum nasional dalam beberapa kasus hukum. Walaupun ada anggapan demikian, bukan berarti hukum Islam mengalami ketertinggalan zaman atau anti modernisasi, namun lebih kepada kurangnya pemahaman atas substansi dan hukum-hukum islam sebagai hukum yang dinamis (living law) dalam beberapa aspek.  Disamping ada kekhawatiran dan kecemasan sejumlah kalangan apabila penerapan Jinayat atau hukum pidana islam diterapkan, maka akan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) sebagai nilai - nilai universal. 

Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena di kalangan umat Islam sendiri ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan hukum Islam merupakan konsekuensi yang logis sebagai wujud ketaatan tertinggi manusia sebagai makhluk kepada sang Pencipta, yakni kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam QS 4 : 59 yang berbunyi :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا 

 Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (di dunia dan akhirat).”

Walaupun dalam praktek pelaksanaannya tidak selalu demikian. Bahkan bagi sebagian kalangan, praktek penerapan Jinayat dianggap anti modernisasi karena tidak selaras dengan traktat internasional, bahkan dinilai kurang sejalan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional dari bangsa Indonesia, dimana Pancasila menjadi sumber hukum. Dan kenyataan Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan berbagai konvensi internasional. 

Demikian pula dengan negara-negara lain di dunia, termasuk di Timur Tengah, dimana dalam perjalanannya diasosiasikan bahwa hukum pidana islam tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan modernisasi. Selain itu, minimnya penerapan hukum pidana Islam di dunia, membuat umat Islam tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pengembangan yang adaptif terhadap praktik penegakan hukum Jinayat sebagai living law, karena kajian dan studi kritis secara mendalam di pandang kurang bermanfaat secara praktis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline