Lihat ke Halaman Asli

Achmad Suhawi

Politisi Pengusaha

Hukum sebagai Kebenaran Relatif

Diperbarui: 17 Juni 2023   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Drama demi drama disertai humor tuna gagasan terus menyeruak ke permukaan publik Indonesia. Babak demi babak, episode demi episode, seri demi seri selalu diserta dengan kegersangan kenegarawanan, alienasi kehendak antara pemimpin dengan yang dipimpin, disparitas berbagai kasus dengan penuntasannya agar tidak pilih tebang, kesatuan kehendak antara berbagai praktek kejahatan dengan komitmen pemberantasan kejahatan yang terkesan mesra berdampingan, kontradiksi antara sebab dengan akibat yang merusak akal sehat. Semua itu membentuk suatu kondisi yang melahirkan kebingungan sekaligus memproduksi kebodohan akut melalui operasi para buzer dan partisan orderan yang sangat tergantung dengan bayaran. Jangan heran bila Tuan hari ini bisa berlawan pada esok hari. Artinya, jangan pernah tanya siapa yang mereka bela karena sudah pasti kepenuhan perut diri sendiri, maksimal adalah kawan ngopi. 

Sengkarut beredarnya Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 yang kemudian dinarasikan sebagai putusan yang mereduksi putusan MK tentang sengketa Pilpres, dimana MK telah menolak gugatan salah satu pasangan Calon Presiden dan menetapkan pemenang Pilpres. Framing opini putusan MA tersebut telah menarik minat berbagai kalangan, mulai yang awam soal hukum sampai para pakar, dimana penulis ada diantaranya, bukan pakar tetapi turut menyaksikan bagaimana praktek hukum ditanah air diterapkan. Tulisan ini sekaligus sebagai atensi bahwa usaha mencerdaskan nalar publik merupakan tanggungjawab semua pihak.

PUTUSAN PARA MAHKAMAH

MA mengabulkan gugatan Rachmawati Soekarnoputri, dkk atas uji materi pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 yang berbunyi: "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih." Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Publik juga mahfum bahwa putusan MA tersebut tidak dapat membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memenangkan pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin setelah gugatan Pasangan Prabowo Subijanto - Sandiaga Uno di tolak oleh MK. Sehingga penetapan Joko Widodo - Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres menjadi sebuah keniscayaan hukum. Dan dalil yang dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum Joko Widodo - Ma'ruf Amin menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final dan mengikat sedangkan putusan MA bersifat prospektif atau berlaku kedepan, sejak tanggal diputuskan. Wajar bila kemudian ada yang berpendapat bahwa sengkarut putusan para Mahkamah tersebut adalah drama usang yang diputar ulang walaupun tanpa iklan, terutama saat menyaksikan upload foto Menhan RI menyimak arahan Presiden Jokowi dengan ta'dzim

Putusan para Mahkamah yang menegaskan bahwa pasangan Calon Presiden Joko Widodo - Ma'ruf Amin yang sekarang menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI memiliki legitimasi sesuai dengan ketentuan hukum perundang-undangan sebagaimana dikemukakan  oleh Yusril Izha Mahendra. Kemenangan paket Joko Widodo - Ma'ruf Amin dalam Pipres 2019 dikuatkan oleh berbabagai dalil hukum lengkap dengan argumentasinya yang menyertainya, diantaranya :

Pertama, putusan MK sudah sesuai dengan kewenangannya untuk mengadili sengketa Pilpres dan putusan yang telah dibuat tidak bertentangan dengan Undang-undang. Namun menurut Theo Huijbers bahwa pokok persoalan hukum bukanlah quid iuris, melainkan quid ius. Kebenaran hukum sebagai quid iuris berorientasi pada dan sebagai hukum positif yang berlaku dan sedang berlaku, disinilah kebenaran hukum putusan MK menjadi landasan legitimasi. Sedangkan kebenaran hukum sebagai quid ius berorientasi kepada sesuatu yang substantif dan esensial dimana sebagian pihak melihat kebenaran hukum putusan MA lebih kepada substansi demokrasi yang telah selesai di pemilu 2019. Jadi putusan MA tersebut tidak berkonsekuensi hukum terhadap putusan MK.

Kedua, MA tidak memiliki domain untuk menangani sengketa pemilu dan putusannya tidak bersifat retroaktif, surut ke belakang, sehingga tidak berlaku pada Pilpres 2019 karena putusan MA nomor 44 P/PHUM/2019 walaupun baru diunggah tanggal 3 Juli 2020 tetapi putusan telah dibuat 28 Oktober 2019. Dimana dalam putusannya, MA menyatakan bahwa pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 416 ayat 1, tetapi Presiden terpilih telah ditetapkan dan dilantik per tanggal 1 Oktober 2019. Jadi putusan MA tersebut tidak memiliki konsekuensi apapun terhadap pelaksanaan Pilpres 2019.

Ketiga, KPU Pusat menegaskan bahwa Pilpres 2019 didasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemillu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden." Dan dalam hal ini pelaksanaan pilpres menurut Hasyim Asy"ari telah merujuk kepada UU No. 7/2019.

Keempat, Yusril Ihza Mahendra mendalillkan bahwa "Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang mempunyai kekuatan yang setara dengan norma undang-undang itu sendiri, meskipun Putusan MK bukan merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan."

Dari sejumlah dalil hukum dan argumentasi tersebut sesungguhnya Putusan Mahkamah yang berlaku saat ini dan menjadi agenda untuk menjadi norma dimasa mendatang telah nyata untuk dirumuskan oleh para regulator pemilu. Namun bagi sebagian yang kontra terhadap putusan MK mengetengahkan pendapat bahwa putusan yang dibuat tidak serta merta mewakili suatu fakta kebenaran mengenai praktek penyelenggaraan pemilu yang LUBER & JURDIL atau "Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil". Kebutuhan suatu Pemilu yang sesuai dengan azas Luber & Jurdil menyeruak ke ruang publik seolah pelaksanaan pemilu 2019 telah berlangsung sebaliknya. Suatu hipotesa tentang eksistensi dari sistem demokrasi yang dibangun atas dasar kebenaran sebagai kebutuhan demi keberlangsungan demokrasi terus memproduksi opini dan persepsi. Kebutuhan itu ditambah dengan prasangka yang di simplifikasi sebagai suatu bentuk ketidakpuasan para pendukung kontestasi salah satu Pasangan Calon, bukan sebagai suatu koreksi atas berbagai kelemahan tata kelola demokrasi dalam pelaksanaan pemilu yang telah membuat masyarakat terpolarisasi secara diametral. Akibatnya, diskursus dalam rangka memproduksi kesadaran berdemokrasi yang dilandasi kebenaran dalam koridor law enforcement mengalami kejumudan.

KEBENARAN HUKUM BERSIFAT RELATIF

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline