20 TAHUN REFORMASI : MENIMBANG CITA-CITA DEMOKRASI
Oleh : Achmad Suhawi
Tahun 2018 dan 2019 merupakan masa krusial karena ada dua perhelatan besar sedang terjadi di Indonesia. Ada 171 Pilkada, baik Provinsi maupun Kabupaten / Kota pada tahun 2018. Dan Pemilu Legislatif serta Pemilu Presiden secara langsung di tahun 2019. Masih tertanam dalam kesadaran bangsa Indonesia betapa Pilkada yang terjadi di DKI Jakarta sangat menguras energi.
Optimisme pun timbul bahwa perlahan tapi pasti rakyat Indonesia semakin dewasa menapaki jalan demokrasi. Umat Islam sebagai golongan mayoritas mampu menunjukan kedewasaannya untuk berdemokrasi dengan baik dalam menyikapi berbagai perbedaan yang timbul ketika itu. Ujian ditahun 2017 memang memberikan hasil yang memuaskan atas praktek demokrasi yang terjadi, namun eskalasi politik tahun ini dan mendatang jauh berbeda dengan setahun lalu.
Pemilu sebagai bagian dari proses demokrasi dirancang dan dimaksudkan bukan semata-mata untuk mengganti orang yang satu dengan yang lain, koruptor yang satu dengan koruptor yang baru, diktator yang lama dengan diktator muka baru, tapi lebih daripada itu. Demokrasi sebagai cerminan kehendak rakyat diorentasikan untuk mewujudkan kehendak rakyat. Namun demikian, setelah 20 tahun reformasi, tanda-tanda bahwa demokrasi yang berlangsung merupakan potret kehendak rakyat nampaknya tidak sepenuhnya benar.
Akar Demokrasi Indonesia
Diskursus mengenai demokrasi tidak terlepas dari tiga macam demokrasi yang digagas dalam setiap peradaban. Tiga macam demokrasi itu ialah demokrasi politik, demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik tampak dari adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Kepala Daerah yang dipilih melalui pemilu, dimana ia memiliki kewenangan untuk menjalankan suatu pemerintahan sebagai suatu manifestasi kedaulatan rakyat.
Namun kedaulatan rakyat yang dipahamkan dan dipropagandakan dalam pergerakan nasional berlainan dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme menurut Bung Hatta. Bung Hatta menegaskan bahwa "kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia haruslah berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme." Dengan demikian demokrasi Indonesia merupakan sinthesa dari semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, aspek lokalitas.
Pertemuan antara spirit kebangsaan yang berkobar ditengah praktek kolonialisme dengan kehendak untuk mendirikan satu negara berdaulat yang menghargai hak asasi manusia (HAM) -- dengan segala keterbatasan akibat penjajahan -- telah melahirkan suatu konsepsi demokrasi perwakilan. Jadi demokrasi Indonesia bukan demokrasi yang mengagungkan individualisme, ia adalah suatu demokrasi yang diramu atas dasar nilai - nilai kebangsaan dan kearifan sebagai bangsa majemuk dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi dari aspek sosial budaya, demografis serta geografis, sekaligus sebagai negara postcolonial. Oleh sebab itu, demokrasi Indonesia yang dicita - citakan adalah suatu demokrasi yang hendak menjalankan suatu keadilan politik sekaligus keadilan dalam hal ekonomi. Demokrasi politik dan ekonomi yang dijalankan bersamaan secara seimbang dapat menghadirkan demokrasi sosial, paling tidak secara teoritis.
Dalam demokrasi sosial berkeyakinan bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak kewarganegaraan yang sama, sejak lahir setiap warga negara setingkat dengan yang lain dan dia merdeka. Hal ini bertolak dari kenyataan bahwa orang sering lupa akan rangkaian demokrasi dengan persamaan. Kemerdekaan individu pun diutamakan.
Persamaan yang dicita-citakan oleh demokrasi sosial itupun mengalami anomali tatkala bersanding dengan realitas demokrasi yang mengedepankan individualisme. Artinya, persamaan yang dipropagandakan dibalik kemerdekaan individu demokrasi liberal bersifat absurd karena dalam prakteknya hanya membawa persamaan politik saja. Persamaan yang dicita-citakan kalau tidak mau dikatakan sebagai yang diceritakan, tidak berlaku dalam hal persamaan ekonomi. Demokrasi tetap menghadirkan praktek kedigdayaan modal, dimana kapital makin terkonsentrasi kepada sekelompok orang atau golongan saja. Disparitas antara si kaya dengan si miskin semakin kontras dari waktu ke waktu dalam praktek demokrasi liberal, sebab pilar-pilar demokrasi semakin menjadi alat kepentingan sekelompok elit berkuasa.