"Bertani organik itu menyenangkan" ungkap Menhendri, 61 tahun. Dia telah melakukan aktivitas pertanian secara organik selam 22 tahun. Bertani organik menurutnya tidak ada keterpaksaan karena kita tidak tergantung dengan pihak lain. Bertani organik dapat dimulai dengan nol rupiah, cukup bermodalkan ilmu dan tenaga, tetapi jika ilmu kita kurang, perlu belajar agar menguasainya.
Berdasarkan pengalamannya bertani organik, Menhendri mengerjakan semuanya sendiri. Mulai dari pengolahan lahan, seleksi benih, membuat pupuk, pengendalian hama dan penyakit. Untuk benih padi, dia melakukan seleksi dari sawahnya, pupuk kompos bernutrisi tinggi dibuatnya, pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan membuat ramuan nabati yang diberi nama jalaku.
Menhendri, yang tinggal di Nagari Biaro Gadang Kecamatan Ampek Angkek Kabupaten Agam ini mengungkapkan beberapa alasan yang membuatnya bertahan dengan pertanian organik sampai sekarang. Pertama, bertani organik itu sesuai dengan ajaran islam karena memakmurkan bumi dan tidak merusak alam.
Keduanya, rasa nasi yang di hasilkan enak, "makan jadi lamak, kanyangnyo lamo (kenyangnya lebih lama) " ujarnya. Ketiga, Merdeka, tidak tergantung dengan pihak lain karena menggunakan benih padi lokal yaitu Varietas Randah Kuning. Keempat, pupuk dapat dibuat sendiri dari kulit pisang, jerami, abu keong, dll. Pupuk kompos disiapkan sekrang untuk musim tanam berikutnya.
Kelima, untuk pengendalian hama dan penyakit dia menggunakan ramuan yang dibuatnya sendiri, yang diberi nama Jalaku. Alasan yang keenam, uang cash yang keluar bisa ditekan sampai nol rupiah. Ketujuh, bertani organic, artinya dapat membuka lapangan kerja baru bagi petani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H