Lihat ke Halaman Asli

Pelanggaran HAM di Papua, Antara Idea dan Realita

Diperbarui: 4 September 2018   13:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dr Suhardi Somomoeljono, SH., MH.

Dosen Pascasarjana Universitas Matla’ul Anwar Banten, Pakar Desk Otonomi Khusus Tanah Papua Kemenkopolhukam RI

Pendahuluan

Menyimak adanya sinyalemen dari laporan Amnesty Internasional (Harian Kompas, edisi 5 Juli 2018, Artikel Agenda HAM Jokowi untuk Papua), bahwa di Papua terjadi dugaan pelanggaran HAM. Menghadapi hal tersebut  apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum Indonesia. Dalam laporan tersebut antara lain menyimpulkan antara periode 1910 sampai dengan 2018 Polisi dan Tentara dianggap bertanggungjawab atas kematian 95 warga sipil di Papua selama 8 tahun terakhir.

Disisi yang lain, tidak dapat dipungkiri Jokowi selama menjabat selaku Presiden dalam kancah satu periode (2014-2019), sudah tujuh kali ke Papua dalam menjalankan tugas kenegaraan/pemerintahan. Selama berada di Papua Jokowi tidak ditolak apalagi diusir dan diancam oleh orang-orang Papua bahkan diterima dengan senang hati. Bahkan Jokowi sang Presiden menjadi idola masyarakat Papua baik bagi penduduk asli Papua maupun bagi penduduk pendatang. Melihat sikap masyarakat Papua yang demikian dekat dan akrab dengan Presiden Jokowi secara umum dapat menggambarkan bahwa masyarakat Papua mengakui keberadaan Jokowi baik selaku Presiden maupun Kepala Pemerintahan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam suasana batin seperti itu, menimbulkan pertanyaan apakah benar masyarakat papua itu menginginkan merdeka memisahkan diri dari wilayah NKRI. Dari aspek yang lain apakah benar TNI/POLRI itu begitu kejamnya dengan warga masyarakat Papua sehingga melakukan pembunuhan yang keji tanpa mengenal perikemanusiaan (pelanggaran HAM).

Sikap Presiden Menyikapi Laporan Amnesty Internasional

Presiden Jokowi selaku Presiden RI, tidak perlu terpancing apalagi emosi dengan adanya laporan dari Amnesty Internasional tersebut. Tidak perlu juga misalnya tergesa-gesa dengan mengeluarkan kebijakan dalam penegakan hukum dengan mengeluarkan Keputusan Presiden membentuk tim pencari fakta atas dugaan pelanggaran HAM berat di Papua. Diupayakan jangan meniru kebijakan penegakan hukum di Timor Timur pada periode sebelumnya (periode Presiden Habibi) sehingga mengakibatkan lepasnya wilayah NKRI Timor Timor. Tidak menutup kemungkinan atas desakan Amnesty Internasional dan negara-negara besar lainnya seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia dan negara-negara lainnya Jokowi selaku Presiden RI terdesak dan terpaksa sehingga karena beberapa faktor kemudian terpengaruh. Lebih-lebih pada saat ini Indonesia memiliki beban hutang luar negeri yang sangat besar, serta pertumbuhan ekonomi yang rendah, biasanya komunitas internasional (baca, misalnya Bank Dunia), akan menawarkan pinjaman yang sangat besar, seolah-olah menolong perekonomian nasional, jika demikian halnya sangat bagus, namun jika dibalik itu ada sarat-sarat politik, misalnya gelar pelanggaran HAM berat di Papua, hal tersebut harus diwaspadai secara bersungguh-sungguh.

Dalam pandangan saya Grand design atau pola-pola yang digunakan oleh Amnesty Internasional mirip dengan sebelum atau menjelang lepasnya Timor-Timor dari pangkuan NKRI dahulu. Jika kita simak secara seksama, menjelang lepasnya Timor Timor dari Indonesia menunjukkan adanya modus-modus yang hampir sama yang terjadi di Papua pada saat ini. Pada saat itu sebelum Timtim lepas dari pangkuan NKRI, dapat disaksikan begitu maraknya aksi-aksi demonstrasi, tuntutan kemerdekaan timtim, dan dukungan terhadap Fretelin dengan membawa foto Xanana Gusmao sebagai pimpinan nasional mereka, keberpihakan eksekutif (Gubernur Mario Vegas) dan keberpihakan tokoh agama seperti Uskup bello yang memiliki jaringan sampai Vatikan dan markas UN New York, melemahnya diplomasi RI di PBB untuk mempertahankan Timtim, termasuk hilangnya dukungan AS terhadap RI. Pada saat itu ditambah semakin menguatnya diplomasi Ramos Horta di luar negeri, walaupun kekuatan militer Fretelin di Timtim sudah melemah, disebabkan pimpinan mereka seperti Xanana Gusmao, Mauhudu, Mauhunu semuanya masuk ke kota Dili, dalam rangka penggalangan mobilisasi masa untuk menggerakkan demonstrasi mahasiswa dan pemuda tentu dengan cara-cara menyamar dan lain sebagainya, bertepatan saat itu kondisi ekonomi nasional sangat berat bahkan dengan hutang luar negeri yang demikian besar mengakibatkan Indonesia nyaris bangkrut puncaknya terjadi krisis moneter tahun 1998.

Seperti halnya keadaan Indonesia pada saat ini, harus kita akui kondisi ekonomi nasional saat ini sangat berat, mengingat satu diantaranya (variable dominan) besarnya hutang luar negeri. Sebenarnya mencoba membandingkan dengan kondisi Timtim sebelum lepas, kondisi di Papua saat ini hampir mirip tahapannya, menuju tahapan pelepasan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mungkin sebagai ilustrasi, barang kali tepatnya tinggal menunggu “Trigger” saja di konstelasi politik kawasan berdasarkan kepentingan nasional masing-masing. Seandainya prediksi tersebut benar adanya, benar-benar terjadi Papua lepas dari wilayah NKRI, maka akan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya terhadap keberadaan provinsi-provinsi lainnya. Propinsi-propinsi lainnya besar kemungkinan akan menuntut kemerdekaan juga, seperti Aceh, Riau, Sulawesi dan Kalimantan serta tidak menutup kemungkinan untuk provinsi-provinsi yang lain. Jika hal tersebut terjadi maka NKRI sebagai suatu negara akan tinggal kenangan. Saya yakin Presiden Jokowi beserta jajarannya tidak akan rela jika NKRI bubar, seperti halnya bubarnya Negara Uni Soviet, bubarnya Negara Yugoslavia, dan lain sebagainya.

Kedaulatan Hukum Negara

Menghadapi adanya kemungkinan desakan dari komunitas nasional/internasional, untuk menggelar peradilan HAM Papua, dengan memposisikan TNI/POLRI selaku Tersangka atas Kejahatan HAM di Papua, sebaiknya Presiden Jokowi wajib super hati-hati (prinsip kehati-hatian). Sebenarnya secara hukum, apakah di tanah Papua itu terjadi pelanggaran berat HAM atau tidak, segalanya tergantung dari hasil penegakan hukum, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia (kedaulatan hukum dalam suatu negara). Jika yang terjadi di tanah Papua, menurut hukum positif yang berlaku, bukan merupakan perkara pelanggaran HAM, kemudian dipaksakan digelar peradilan HAM, maka posisi Indonesia dalam hal seperti itu akan sangat lemah. Bayangkan, Jika Hakim yang mengadili disebabkan dari beberapa faktor, yang sulit terhindarkan, kemudian menghukum TNI/POLISI salah telah melakukan pelanggaran HAM. Siapa yang sanggup menjamin Indonesia tidak dijatuhi sanki embargo, dari beberapa aspek (ekonomi, senjata dan lain-lain) oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Dalam situasi seperti itu akan sangat mudah sekali masyarakat Papua terprovokasi meminta opsi referendum, dalam memperjuangkan kemerdekaannya, seperti halnya di Timor-Timor dahulu.    

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline