Oleh:
DR H SUHARDI SOMOMOELJONO, SH., MH
Salah Satu Deklarator Penandatanganan Lahirnya Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) Tanggal 11 Februari 2002 dan Deklarator Penandatanganan Penetapan Kode Etik bersama Advokat Indonesia Tanggal 23 Mei 2002 yang secara mutatis mutandis telah diakui oleh Pasal 33 UU Advokat No. 18 Tahun 2003 yang telah diundangkan pada tanggal 5 April 2003.
Pendahuluan
Sebagai salah satu pelaku saksi sejarah, setidak-tidaknya pada pasca sebelum lahirnya UU Advokat Nomor 3 Tahun 2003 ("UU ADVOKAT"), dan setelah UU Advokat di undangkan.Testemoni tersebut secara jujur, wajib disampaikan kepada generasi muda, khususnya bagi para advokat dan masyarakat pada umumnya, mengenai latar belakang sejarah lahirnya organisasi advokat ("OA") di Indonesia tersebut. Dengan diungkapnya adanya fakta-fakta tersebut, sehingga secara nalar, diharapkan nantinya dapat di uji, serta dikaji, dalam perspektif akademis, demi kepentingan kehormatan profesi advokat di Indonesia tentunya.
Penting untuk disimak bersama bahwa, UU Advokat itu tidak mungkin lahir (imposible), dan diundangkan menjadi UU, jika persyaratan awal sebagai nilai historis (historical) tidak terpenuhi terlebih dahulu. Apa nilai historis sebagai persyaratan awal itu ?
- (A).7(tuju) Organisasi Advokat yang sah dan legitimate, pada saat itu yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN),Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI),Serikat Pengacara Indonesia (SPI),Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI),dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), wajib terlebih dahulu membentuk wadah bersama. Wadah bersama yang dimaksut adalah, berupa Induk dari seluruh Organisasi Advokat di Indonesia.
- Dalam rangka mewujutkan Induk Organisasi Advokat tersebut, akhirnya, tepat pada tanggal 11 Februari 2002, ke-7(tuju) Organisasi Advokat tersebut, berhasil mendirikan / mendeklarasikan, berdirinya Komite Kerja Advokat Indonesia ("KKAI"), yang ditandatangani oleh para advokat Indonesia dalam kedudukannya selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jendral, yang tergabung dalam 7 (tuju) organisasi advokat, yaitu masing-masing oleh :
- H.Sudjono,SH.
- Otto Hasibuan,SH.
- Denny Kalimang,SH.
- Teddy Soemantry,SH.
- H.Indra Sahnun Lubis,SH.
- E.Suherman Kartadinata,SH.
- H.A.Z.Arifien Syafe'i,SH.
- Suhardi Somomoeljono,SH.
- Tri Media Panjaitan,SH.
- Sugeng T Santoso,SH.
- Fred B.G.Tumbuhan,SH.,L.Ph.
- Husein Wiriadinata,SH.,LLM.
- Soemarjono S,SH.
- Hafzan Taher,SH.
- Ke-14 (empat belas) Orang Advokat Indonesia tersebut, adalah Ex-Officio dalam jabatannya, selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jendral, dari ke-7 (tuju) Organisasi Advokat Indonesia.
- (B).Komite Kerja Advokat Indonesia ("KKAI"), secara kolegialitas, yang diwakili oleh 14 (empat belas) Orang Advokat Indonesia tersebut, adalah Ex-Officio dalam jabatannya, selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jendral dari, ke-7 (tuju) Organisasi Advokat Indonesia, pada tanggal 23 Mei Tahun 2002 di Jakarta, telah sepakat menandatangani, mendeklarasikan (deklarator) dalam bentuk, menetapkan / Penetapan, atas Kode Etik Advokat Indonesia, sebagai Kode Etik bersama, yang berlaku bagi seluruh advokat di Indonesia.
Setelah pada tahun 2002, kedua pekerjaan besar tersebut, dapat diselesaikan oleh KKAI, dan dilaporkan ke ketua DPR RI, akhirnya pada tahun 2003 UU Advokat masuk dalam program legeslatif nasional, dan diundangkan dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Sebagai bukti autentik secara hukum, bahwa KKAI secara historis memiliki legal standing, yang sangat kuat, atas diundangkannya UU Advokat, dimana pada akhirnya, pihak pembentuk UU dalam pasal 33 UU Advokat Kode Etik Advokat yang ditandatangani oleh KKAI pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut UU Advokat sampai adanya ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.
Tentunya, akan timbul suatu pertanyaan, apa sesungguhnya, yang dimaksut oleh pembentuk UU, dengan kalimat tersebut (baca, Organisasi Advokat), yang mana yang dimaksut ?. Institusi kenegaraan dalam kekuasaan eksekutif-legeslatif-yudikatif, yang mana, yang lebih memiliki kewenangan, untuk menafsirkan ketentuan tersebut ( baca, Organisasi Advokat ) ?.Berdasarkan fakta hukum yang ada, ternyata dalam menjawab maksut dan tujuan dari pembentuk UU tersebut , Mahkamah Agung RI, secara tegas, dalam nota dinasnya, yaitu berdasarkan, surat MA berkaitan dengan telah diundangkannya UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 dalam surat Nomor : KMA/445/VI/2003 Perihal : Pelaksanaan UU No.18.Tahun 2003 tentang Advokat tertanggal : 25 Juni 2003, Organisasi Advokat yang dimaksut adalah KKAI.
Surat ketua MA tersebut, telah di beritaukan kepada seluruh Ketua Pengadilan, Pengadilan Tinggi, baik Pengadilan Negeri, maupun Pengadilan tata Usaha Negara (TUN). Dengan adanya pengakuan, dari Mahkamah Agung RI tersebut, sesungguhnya secara juridis formal (asas legalitas), KKAI telah memiliki derajat dalam ketatanegaraan, sebagai badan, atau lembaga negara, dalam bentuknya sebagai Organisasi Advokat Indonesia (Indonesian Bar Association).
Yang menjadi pertanyaan besar adalah, mengapa para pengurus KKAI, yang secara Ex-Officio mewakili kepentingan advokat Indonesia, secara langsung / tidak langsung, menghilangkan kedudukan KKAI, yang telah memiliki landasan hukum, historis serta sosiologis tersebut.Atas pertanyaan tersebut, sampai saat ini, belum pernah diungkapkan / terungkap, sehingga masih menjadi sesuatu yang bersifat misteri (baca, skandal). Ada dua kemungkinan mengapa KKAI di hilangkan (baca, tidak diaktifkan).
Kemungkinan pertama, ada kesengajaan dari orang-orang (baca, oknum) yang memiliki kepentingan pribadi atau kelompok dalam rangka mencari keuntungan (vested of Interest).Pada saat seluruh organisasi advokat dalam naungan Induk Organisasi Advokat KKAI maka yang menjadi anggota KKAI itu bukan orang (baca, advokat), tetapi organisasi advokat.Dengan konsep seperti itu, maka seluruh organisasi advokat masih berdaulat dengan anggotanya masing-masing, sehingga kartu anggota advokat ("KTA") yang dikeluarkan oleh KKAI selalu bersama-sama dengan organisasi advokat. Misalnya advokat yang berasal dari organisasi advokat IKADIN, maka KTA yang dikeluarkan KKAI ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris KKAI dan Ketua Umum serta Sekretaris Jendral dari organisasi advokat.Dalam keadaan seperti itu, dinamika dari 7 (tuju) organisasi advokat sangat tinggi dalam persaingan membina para anggotanya masing-masing.KKAI benar-benar wadah bersama dalam rangka menentukan kebijakan bersama untuk advokat Indonesia.
Setelah peran KKAI digantikan oleh PERADI maka terjadi perubahan seratus persen.Dengan lahirnya PERADI maka kedaulatan organisasi advokat atas anggotanya benar-benar termarginalkan bahkan berpotensi dimatikan. Mengapa demikian ? karena yang menjadi anggota dari PERADI itu bukan Organisasi Advokat, tetapi orang (baca, para advokat ).Konsekwensinya para advokat Indonesia misalnya akan mengurus KTA tidak lagi melalui ke-7 organisasi advokat tetapi langsung ke PERADI. Lebih-lebih pelaksanaan ujian advokat dan pendidikan khusus profesi advokat ("PKPA"), dimonopoli PERADI dengan demikian secara otomatis kedaulatan dari ke-7 organisasi advokat benar-benar ada unsur kesengajaan untuk dimatikan.