Prolog
Tulisan ini bermaksut meluruskan sejarah organisasi profesi advokat dalam perspektif UU Advokat No.18.Tahun 2003 secara konstitusional, tanpa tafsir hukum sehingga diharapkan dapat meluruskan sejarah sesuai dengan dinamika perkembangannya. Generasi muda advokat terutama berhak untuk mengetauhi secara jujur apa adanya tanpa rekayasa sehingga nantinya dapat dilakukan analisa secara mendalam yang bersifat akademis. Jangan sampai terulang kembali terjadinya penyesatan (miss perception), khususnya terhadap kegagalan pembentukan wadah nasional organisasi profesi advokat.
Perlu diketauhi bersama bahwa, sebelum UU Advokat lahir pada tahun 2003, sebelumnya diawali dengan bergabungnya ke 7 (tujuh ) organisasi profesi Advokat Indonesia yaitu : IKADIN; AAI; IPIHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM dalam satu wadah KKAI. Sebelum ke-7 organisasi profesi tersebut mendirikan KKAI, sebelumnya telah terbentuk Forum Advokat Indonesia (FAI) yang anggotanya terdiri dari IKADIN, IPHI DAN AAI. Tidak lama kemudian karena dinamika perkembangan telah lahir beberapa organisasi profesi advokat antara lain HAPI, SPI, AKHI, HKHPM. Atas prakarsa IKADIN akhirnya FAI dibubarkan berubah nama menjadi Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI) yang beranggotakan 7 organisasi profesi advokat. IKADIN dimasa kepemimpinan almarhum Sudjono benar-benar responsip dan demokratis, sehingga semua organisasi profesi advokat yang lahir diakomodir, diakui serta dirangkul secara bersama-sama sehingga terbentuklah rasa kebersamaan yang kuat. Peran IKADIN sangat menentukan pada masa itu, mengingat perannya selaku organisasi profesi advokat tertua sehingga mayoritas advokat senior banyak yang bergabung di IKADIN, satu diantaranya almarhum Adnan Buyung Nasution (“ABN”). FKAI pada akhirnya dalam rentan waktu yang relative cepat berubah menjadi KKAI. Ketika KKAI terbentuk penulis ( Suhardi Somomoeljono) berkedudukan sebagai Sekretaris Jendral Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI) organisasi profesi advokat yang lahir ke-4 setelah IKADIN, IPHI, AAI, kemudian lahirlah HAPI. Kebetulah penulis juga bertindak selaku penandatangan atas kelahiran KKAI tersebut. Pada saat itu seluruh Ketua Umum dan Sekretaris Jendral semuanya menandatanganinya. IKADIN saat itu diwakili oleh Ketua Umumnya Almarhum SUDJONO dan OTTO HASIBUAN selaku Sekretaris Jendral. Dengan demikian actual-faktual, secara historis-sosiologis-juridis KKAI adalah satu-satunya forum organisasi profesi Advokat Indonesia yang ditanda tangani bersama 7 ( tujuh ) organisasi profesi Advokat tersebut pada tanggal ll Februari 2002.
KKAI diakui oleh Mahkamah Agung RI
Tanggal 11 Februari Tahun 2002 KKAI lahir, langsung dilaporkan kepada Ketua Mahkamah Agung RI oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jendral dari ke-7 organisasi profesi advokat tersebut. Pada saat itu kita bersama-sama menunjuk ketua Umum IKADIN almarhum Sudjono selaku Ketua / Koordinator KKAI dengan pertimbangan IKADIN adalah organisasi profesi tertua. Sehingga penunjukan ketua umum IKADIN sebagai koordinator (Chairman) KKAI tidak ada halangan apapun ke-7 pimpinan organisasi profesi advokat semuanya menyetujui bahkan IKADIN justru diminta untuk bersedia demi kebersamaan. Dalam operasionalisasi selanjutnya otomatis secara ex-officio seluruh ketua umum dan sekretaris jendral adalah pengurus / mewakili KKAI. Kebetulan pada saat itu saudara Harry Ponto dari AAI ditunjuk sebagai sekretaris KKAI. Seingat saya tahun 2002 pada saat KKAI terbentuk ke-7 organisasi profesi advokat untuk modal awal operasional menyerahkan uang sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) itulah modal awal KKAI dalam mengawal dinamikanya.
Mengingat Mahkamah Agung RI telah mengakui keberadaan KKAI sebelum lahirnya UU advokat, maka dalam waktu yang sangat singkat Mahkamah Agung dibawah kepemimpinan Prof Dr Bagir manan, SH.,MH pada bulan maret 2002 mengeluarkan surat edaran mengenai kerjasama antara Mahkamah Agung RI dengan KKAI dalam rangka pelaksanaan ujian advokat nasional. Pada saat itu Mahkamah Agung mengeluarkan surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor : KMA/44/III/2002 tentang Pembentukan Panitia Bersama Ujian Pengacara Praktek tahun 2002. Berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung RI tersebut, disitulah pertama kali kekuasaan penyelenggaraan ujian advokat sebagian diserahkan kepada KKAI. Saya masih ingat pada saat itu Ketua Mahkamah Agung RI Prof Bagir Manan menyatakan dalam rapat bersama di gedung Mahkamah Agung antara Ketua Mahkamah Agung RI dan jajarannya dengan KKAI mengatakan “ proses penyerahan (levering) kekuasaan secara ketata negaraan tidak dapat dilakukan secara mutlaq/keseluruhan, namun harus dengan cara bertahap. Maksutnya mengenai pelaksanaan ujian pengacara awalnya dilakukan dalam bentuk kerjasama ( gabungan ) antara Mahkamah Aung RI dan KKAI, baru untuk selanjutnya kekuasaan tersebut secara keseluruhan diserahkan kepada KKAI.
Setelah KKAI oleh Mahkamah Agung RI diakui keberadaannya (rekoqnation) baik secara hukum maupun secara politik, akhirnya KKAI melakukan langkah yang sangat menentukan dan strategis yaitu melakukan penyatuan kode etik advokat. Dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong saling hormat menghormati akhirnya gabungan dari ke 7 ( tujuh ) organisasi profesi Advokat tersebut, merumuskan dan menyepakati bersama kesatuan Kode Etik Advokat Indonesia ditetapkan tanggal 23 Mei 2002 untuk dimasukan ke dalam Rancangan Undang-Undang Advokat diusulkan oleh organisasi profesi Advokat. Perlu diketauhi bahwa nama KKAI awalnya usul almarhum Bang Buyung ( Adnan Buyung Nasution). Pada saat itu termasuk penulis bersama-sama dengan seluruh ketua mum dan sekretaris jendral dari 7 organisasi profesi advokat berkonsultasi dikantor ABN, pada saat itu berkantor di gedung yang saat ini menjadi gedung Sampurna Strategis Tower. Saat itu ABN dalam rapat bersama mengatakan “sebelum kalian menemui ketua Mahkamah Agung RI minimal kalian bertuju itu memiliki wadah bersama setidak-tidaknya dalam bentuk komite kerjalah”. Demikianlah kira-kira kalimat ABN saat itu yang disetujui oleh semua peserta rapat yang hadir. Atas dasar saran dari ABN itulah kemudian ke-7 organisasi profesi advokat sepakat membentuk wadah bersama yang diberi nama KKAI (Komite Kerja Advokat Indonesia).
Sungguh kelahiran KKAI itu benar-benar murni gagasan dari para advokat senior / advokat pejuang, yang tidak terdapat kepentingan politik apapun, kecuali hanya untuk cita-cita terwujudnya profesi advokat yang terhormat (officium nobile) serta cita-cita catur wangsa yaitu terjadinya kesederajatan antara hakim, polisi, jaksa dan pengacara.
Dinamika KKAI setelah mendapatkan pengakuan dari Mahkamah Agung
KKAI setelah mendapatkan pengakuan dari Mahkamah Agung RI akhirnya memperjuangkan lahirnya UU advokat. Pertimbangan utamanya pada saat itu mengingat profesi Hakim, Jaksa, Polisi semuanya sudah memiliki payung hukum berupa undang-undang, mengapa advokat tidak juga berjuang agar supaya memiliki payung hukum berupa undang-undang advokat. Akhirnya lahirlah UU Advokat No.18.Tahun 2003 dan cita-cita advokat sebagai Penegak Hukum yang sederajat dengan catur wangsa lainnya terwujut. Peran KKAI sebagai inisiasi lahirnya UU Advokat pada saat itu sangat inten, dengan menempatkan almarhum ABN sebagai wakil atau yang mewakili pemerintah. Pada akhirnya secara prinsipil pembahasan-pembahasan atas materi / norma UU Advokat secara substansi perumusan UU Advokat tidak mengalami kesulitan. Bahkan dalam pasal 32 ke-7 organisasi profesi advokat ditambah satu lagi menjelang diundangkannya UU Advokat yaitu Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) atas usulan Menteri Kehakiman saat itu Prof Yusril Ihza Mahendra sehingga berubah menjadi 8 organisasi profesi advokat sebagai anggota ex-officio dari KKAI seluruhnya telah diakui oleh para pembentuk undang-undang. Dengan demikian secara juridis formal keberadaan organisasi profesi advokat di Indonesia telah diakui oleh Undang-undang Advokat No.18.Tahun 2003 yang secara limitative UU telah menyebut ke-8 Organisasi Profesi Advokat antara lain : IKADIN; AAI; IPHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM; dan APSI.