Dari kejauhan, aku masih mencium wangi rambut mu, merasakan segar nafas mu, mendengar setiap langkah kaki mu. Wahai wanita yang dengan mengingat mu, aku lupa separuh diriku.
Aku membiarkan mu berkuasa menjajah diri ku, berapapun lamanya. Aku memilih tidak melakukan pemberontakan. Renggut seluruh jiwa ku!, hancurkan sampai porak-poranda!, tinggalkan segala bentuk luka!.
Wahai wanita yang dengan melihat matamu, aku melihat luasnya samudera kehidupan. Aku menerima segala kekejaman mu, justru karena aku menemukan peradaban yang luhur dalam dirimu.
Di sisi kanan mu, aku menemukan gairah perdamaian sedang di sisi kiri mu, aku menemukan gairah revolusi. Maka wahai wanita yang dengan mu aku memilih bertahan meskipun hancur, maafkan aku terus memaksa memasuki titik tengah keindahan mu, hati mu yang kutahu sebenarnya lapang..
Dengan segala ambisi yang masih kurawat, izinkan aku membangun peradaban luhur dari pusat keindahan mu, dan dari itu pula jalanku semakin dekat kepada Tuhan.
Suhardin, 26 Oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H