Lihat ke Halaman Asli

Suhardin Djalal

Sekolah Rakjat

MoU Helsinki dan Aceh di Masa Depan

Diperbarui: 17 Agustus 2019   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

liputan6.com

Hari ini 14 tahun yang lalu tepatnya tanggal 15 Agustus 2005, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai setelah berkonflik selama 29 tahun (1976-2005). 

Isi perjanjian tersebut tertuang dalam naskah MoU Helsinki (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka). Isi perjanjian damai tersebut mengenai penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, hak asasi manusia, amnesti dan reintegrasi dalam masyarakat, pengaturan keamanan, misi monitoring Aceh serta penyelesaian perselisihan.

Penyelenggaraan pemerintahan di Aceh dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasca berlakunya undang-undang tersebut, Aceh mulai membangun diri dari berbagai aspek. Pembangunan Aceh berjalan secara baik dengan adanya dana otonomi khusus, diselenggarakannya pemilu, partai politik lokal didirikan, beberapa qanun dibentuk, penegakan syariat islam dijalankan, pelestarian adat, pembentukan lembaga keistimewaan dan lain sebagainya.

Bila melihat secara mendasar, Aceh benar-benar telah berada pada keistimewaan dan spesial dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Indonesia. Maka, menjadi suatu kewajaran bila daerah lain merasa iri juga ingin istimewa dan spesial seperti Aceh. Tentunya, bila membahas keistimewaan dan spesial Aceh, kita tidak bisa melupakan sejarah panjang bangsa Aceh yang menjadikannya istimewa dan spesial tersebut.

Setelah jalan panjang sejarah Aceh tersebut tentu kita harus siap menerima konsekuensi dan realita yang berlaku sekarang. Selain dari masih masalah kemiskinan, Aceh sering menjadi perdebatan dan pembahasan yang panjang. Kita ingat bagaimana polemik pencabutan pasal dalam UUPA terkait Pemilu, polemik penegakan syariat islam di Aceh, polemik qanun poligami, polemik hymne dan bendera Aceh serta hal lainnya.

Aceh seharusnya lebih optimis dengan keistimewaan dan kekhususannya, lebih berani menatap masa depan, punya cita-cita, usaha yang sangat tinggi, berani dan tegas. Kita menginginkan Aceh di masa depan bukan lagi penuh dengan persoalan, melainkan penuh dengan optimis dan keberlangsungan kehidupan yang mandiri.

Aceh dengan syariat islam dan adatnya juga harus sadar serta bertanggung jawab penuh dilaksanakan dan diterima dalam lapisan kehidupan berbangsa dan bernegara secara merata. Terimplementasi dalam aspek pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pariwisata.

Kemudian, akan menjadi menarik bila Aceh mempunyai bendera, lambang dan hymne nya sendiri. Bendera tersebut kemudian berkibar di depan kantor-kantor Pemerintahan Aceh, lambang dipajang di ruang pemerintahan, hymne diperdengarkan di acara perayaan-perayaan. Sebelum itu, Aceh harus secara konsisten sepakat dan memperjuangkan bentuk bendera, lambang dan hymne tersebut.

Selain itu, Aceh juga bisa mengusahakan didirikan federasi sepak bola Aceh yang kemudian didaftarkan di FIFA terpisah dari PSSI, guna untuk memberi warna sepak bola regional maupun internasional.

Selain itu, Aceh juga mencoba mengajukan hari Jum'at sebagai hari libur di Aceh dengan pertimbangan efektivitas kerja dengan ibadah, namun harus tetap mampu bersinergi dengan pusat mengingat hari kerja nasional yang notabene libur di hari Minggu.

Selain hal tersebut, masih banyak harus berani dicita-citakan dan diusahakan Aceh di masa mendatang. Aceh di masa depan harus mampu lepas dengan identik 'perang dan polemik'. Aceh di masa depan diharapkan sebagai Aceh yang mandiri, damai dan menjadi teladan baik bagi daerah lain di Indonesia. Semuanya itu bukan suatu kemustahilan dengan adanya keistimewaan dan kekhususan yang ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline