Lihat ke Halaman Asli

Quo Vadis Merpati Nusantara Airlines?

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Melihat dan mengamati kinerja PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) dari tahun ke tahun dan dari dasawarsa ke dasawarsa, kita tergelitik untuk bertanya, mau kemana MNA? Sejalan dengan statusnya yang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kita yang warga negara Indonesia (WNI) ini merasa berhak untuk meminta pertanggungan jawab atas kinerja PT MNA. Karena selaku rakyat, kita adalah the ultimate owner atau pemilik MNA yang sebenarnya. Selain mengemban misi sebagai sebuah Badan Usaha dan sebuah maskapai penerbangan nasional yang sudah sangat berpengalaman, MNA adalah satu diantara simbol-simbol nasional yang mencerminkan kompetensi kita sebagai bangsa dalam hal bernegara dan berpemerintahan. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kinerja MNA secara umum adalah refleksi kinerja kita sebagai bangsa.

Usia MNA akan genap setengah abad pada tahun 2012 nanti. Selama hidupnya, kinerja MNA penuh dengan cerita tentang rugi yang berkepanjangan dan akumulasi hutang yang bertumpuk. Secara hukum, status badan-usaha maskapai ini sudah bukan lagi Perseroan Terbatas, karena nilai hutang sudah melebihi nilai aset. Armada pesawat Merpati cukup besar dan terdiri dari berbagai tipe pesawat. Sebagian besar dari pesawat-pesawat ini mangkrak di hangar, dalam kondisi tidak terbang karena sistim rawat-pesawat dikelola secara amburadul. Konon bila satu pesawat rusak, alih-alih memperbaiki, MNA malah menyewa pesawat baru. Inefisiensi dalam produk ini berhulu dari inefisiensi dalam pengelolaan perusahaan yang dilakukan oleh Kuasa Pemegang Saham (KPS), yaitu dalam hal ini Pemerintah. Gonta-ganti Direksi dilakukan setiap kali ada pergantian pejabat di jajaran KPS. Akibatnya, Merpati tidak pernah mempunyai kebijakan strategis yang konsisten. Bagaimana mau konsisten? Baik Direksi MNA yang diangkat oleh KPS, maupun pejabat yang mewakili KPS yang mengangkat Direksi MNA, sama-sama menduduki jabatan mereka untuk masa-bakti yang tidak selalu pasti. Sementara dalam pelaksanannya, setiap kali ada pergantian pejabat, terjadi pula pergantian kebijakan. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk menerapkan kebijakan strategis yang sustainable atau berkelanjutan. Maka jadilah MNA seperti apa yang dikatakan oleh Rigas Doganis dalam bukunya The Airline Business in 21st Century yaitu, Distressed State Own Airline.

Salah satu contoh dari inefisiensi yang “berkesinambungan” ini adalah rencana kerja salah satu Direksi MNA di masa lalu untuk melakukan efisiensi biaya. Rencana ini mendapat dukungan dari KPS berupa suntikan dana Pemerintah dalam jumlah besar untuk mengurangi jumlah karyawan dan memindahkan Kantor Pusat ke Makassar. Begitu ada pergantian Direksi dan pergantian pejabat di pihak KPS, rencana ini juga berubah. Akibatnya kucuran dana dari Pemerintah ini mubazir, ibarat menggarami air laut. Ada karyawan yang sudah diputus hubungan kerjanya dan diberi pesangon yang besar, tapi dipekerjakan kembali sebagai pejabat struktural. Alhasil, dana tandas, efisiensi kandas. Jumlah karyawan tak berkurang, cerita pindah ke Makassar-pun urung. Di mata pelanggan, mutu pelayanan Merpati sangat rendah. Kinerja tepat waktu rata-rata maskapai dalam negeri memang rendah, tapi kelemahan Merpati dalam mengelola keterlambatan (delay management) membuat maskapai ini jadi pilihan terakhir bagi pelanggan. Ditambah lagi dengan rekam-jejak keselamatan penerbangan yang secara historis dikenal buruk.

Wacana terkini adalah heboh terkatung-katungnya penyusunan business plan baru yang harus dibuat oleh Direksi Merpati, sebagai sarat bagi pencairan dana jaminan atau bail-out Pemerintah. Kita masih ingat bagaimana gigihnya Direksi MNA berargumentasi baik kepada KPS, kepada regulator maupun kepada DPR untuk menggolkan proyek pengadaan pesawat MA-60 buatan Cina ini. Untuk itu mereka diminta untuk membuat sebuah business plan yang komprehensif dalam waktu dekat. Pada waktunya, armada MA-60 sudah berdatangan dan sudah pula beroperasi (bahkan sudah ada yang jatuh pula, pen.), tapi business plan tak kunjung dibuat. Sementara itu para lessor luar negeri mengancam akan mempailitkan Merpati karena membengkaknya tunggakan sewa pesawat, mesin dan suku-cadang. Dan puncaknya adalah kecelakaan jatuhnya pesawat jenis MA-60 ini di teluk Simora, Kainama yang memakan korban jiwa seluruh penumpang beserta awak pesawatnya pada tanggal 7 Mei 2011 yang lalu.

Merpati Nusantara Airlines berdiri pada 6 September 1962, pasca kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Pada waktu itu anak perusahaan KLM, Kroonduif NV yang berkedudukan di Hollandia, Nieuw Guinea, kini bernama Jayapura, Papua, diambil-alih dan dinasionalisasi melalui PP No. 19 tahun 1962. Setelah berdiri, Merpati dipindahkan ke Surabaya, tapi tidak lama kemudian dipindah lagi ke Jakarta. Pada 1978 MNA diakuisisi menjadi anak perusahaan Garuda Indonesia, lalu pada tahun 1989 Garuda dan Merpati diintegrasikan. Tapi pada tahun 1993 dipisah dan disapih lagi oleh Menteri Perhubungan RI waktu itu, yaitu Haryanto Dhanutirto. Disini terlihat bahwa sejak lahir, Merpati sudah menjadi hot potato atau kentang-panas yang membakar setiap tangan yang menanganinya.

Pokok permasalahan yang dihadapi MNA selama ini bukanlah masalah operasional, bukan pula masalah pemasaran atau masalah manajemen, melainkan masalah raison d’être yang tak jelas. KPS, sebagai Pemerintah tidak pernah merumuskan secara jelas tujuan keberadaan MNA sebagai maskapai penerbangan milik negara, disamping keberadaan Garuda Indonesia dan Pelita Air Service. Ketiadaan rumusan resmi tentang tujuan keberadaan MNA ini menimbulkan “visi” tidak resmi yang selama ini dianut oleh para pejabat di jajaran KPS dan para Direksi MNA yang meniscayakan keberadaan MNA “hanya” sebagai operator saja. Jadi, yang penting bisa beroperasi, namanya juga operator? Untuk itu diperlukan pesawat, jenis apapun jadi asal bisa terbang. Kalau pesawat sudah beroperasi, artinya fungsi airline sudah berjalan? Mereka lupa, atau sengaja lupa bahwa MNA adalah sebuah entitas bisnis, sebuah BUMN yang mengemban amanah para pemiliknya, yaitu rakyat Indonesia. Mereka lupa bahwa MNA adalah maskapai penerbangan yang mempunyai karakteristik padat modal, padat teknologi, padat informasi, padat karya, menghasilkan margin-usaha yang sangat tipis (3 – 7 %) dengan tingkat yield (revenue per unit produksi) yang terus-menerus turun secara konstan dan universal. Salah satu kodrat lainnya yang lebih penting tapi kurang diketahui oleh masarakat adalah, bahwa usaha airline itu menghidupi usaha-usaha lain. A business that generates other businesses, kata orang. Usaha-usaha lain tersebut adalah antara lain usaha katering, perawatan/perbaikan pesawat, hotel, biro perjalanan umum, tour-operators, wholesalers, pemasok BBM, pengelola bandara plus berbagai macam usaha yang mengambil lokasi di bandara-bandara, dan lain-lain. Yang menarik untuk diamati adalah bahwa margin-usaha yang dihasilkan oleh usaha-usaha derrivative ini jauh lebih tinggi daripada margin usaha airline. Padahal hidup-mati usaha-usaha mereka ini bergantung pada keberadaan airlines! Bayangkan, bagaimana resikonya bila sebuah maskapai penerbangan dengan segala karakteristknya seperti tersebut diatas, dikelola secara tidak efisien dalam arti komprehensif?

Salah satu bukti, atau mungkin lebih tepat disebut indikasi, bahwa MNA selama ini dikelola hanya sebagai operator saja, dan bukan sebagai entitas bisnis yang harus mendatangkan laba, adalah fakta bahwa perencanaan armada tidak dilakukan secara fokus. Ditengah gonjang-ganjing pengadaan pesawat MA-60 yang heboh ini, Direksi masih berusaha untuk menyewa satu buah pesawat jenis Boeing B737-400 bekas milik Garuda. Terlepas dari semua isu-isu negatif tentang proses pengadaan pesawatnya, konsep penggunaan pesawat jenis MA-60 ini sudah tepat. Dari sudut spesifikasi teknis pesawat, aspek operasional, kebutuhan pasar dan kondisi aktual rute-rute yang kini diterbangi MNA, keputusan memilih pesawat baru jenis ini bisa dipertanggung-jawabkan secara bisnis. Pesawat dipesan dalam jumlah yang relatif besar yaitu, 15 (limabelas) mencerminkan bahwa faktor economies of scale sudah dipertimbangkan dengan masak. Yang aneh adalah embel-embelnya yang tidak fokus, yaitu rencana tambahan sewa satu pesawat bekas jenis lain yang sama sekali tidak kompatibel dengan armada yang sedang dibangun.

Untuk merevitaslisasi MNA secara tuntas, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh oleh Pemerintah selaku KPS selain merumuskan, meng-iterasi dan mendokumentasikan kembali visi keberadaan MNA. Bila visi Pemerintah sebagai pemilik sudah jelas, maka tidak sulit bagi siapapun yang menjabat sebagai Direksi MNA untuk menjabarkannya ke dalam suatu rencana bisnis secara fokus dan komprehensif. Tanpa usaha yang serius, apalagi membiarkan MNA dikelola seperti layaknya usaha omprengan, bukan tidak mungkin nasib Merpati akan seperti yang selama ini diplesetkan orang yaitu, Merpati = merana sampai mati. Ingat, Merpati Nusantara adalah aset bangsa yang mengandung nilai sejarah yang heroik pasca Trikora, dan masarakat masih mencintainya.

Jakarta, 5 Juni 2011

Suhandi Taman Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline