Lihat ke Halaman Asli

Bisakah Merpati Nusantara Airlines Bertahan Hidup?

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Secara lugas Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Abukabar Mustafa, memberikan peringatan keras kepada Maskapai Merpati Nusantara Airlines (MNA), dan meminta MNA agar memanfaatkan pinjaman ke dua dan terakhir dari PT Perusahaan Pengelola Aset sebesar Rp 310 miliar. “Kalau sampai gagal, keberlangsungan MNA akan dipertimbangkan lagi”, begitu kata Mustafa pada hari Kamis, tanggal 27 Mei 2010 yang lalu.

Pernyataan Meneg BUMN ini cukup mengagetkan karena hingga kini masarakat masih menganggap bahwa Pemerintah selaku pemegang saham tidak terlalu peduli atas kinerja bisnis maskapai ini. Banyak pihak menilai bahwa keberadaan MNA selama ini seperti sengaja diniscayakan atau dibiarkan taken for granted oleh pemiliknya, walaupun selalu merugi secara kronis dan akumulatif. Pergantian-pergantian jajaran Direksi MNA yang terjadi selama ini hanya mengganti wajah-wajah pejabatnya saja. Sementara kebijakan, strategi dan program-programnya kebanyakan adalah business as usual. Pemegang saham seolah-olah hanya mengamini saja kebijakan dan strategi Direksi-Direksi MNA yang notabene selalu sama dan itu-itu saja tapi mengharapkan hasil yang berbeda. Program rasionalisasi SDM dan kepindahan Kantor Pusat ke Makassar sudah diputuskan sejak masa Hotasi Nababan menjabat sebagai Direktur Utama. Tapi sampai sekarang, dimana Direksi sudah berganti lagi sebanyak dua kali, ke dua program ini tidak kunjung tuntas. Padahal ke dua program ini justru sangat vital dan strategis sifatnya. Pertanyaan yang timbul sekarang adalah apakah MNA bisa bertahan hidup atau survive di tengah persaingan yang ketat seperti sekarang? Atau, akankah MNA lenyap ditelan seleksi alam nantinya?

Sebagai badan usaha angkutan udara niaga, bisnis MNA bersifat padat modal, padat karya, padat teknologi dan padat informasi. Dengan kompleknya karakteristik dari bisnis ini, maka sebuah maskapai penerbangan harus mampu menjalankan efisiensi operasional, agar bisa menekan unit cost, dan menerapkan kebijakan marketing yang efektif untuk meningkatkan yield, atau pendapatan per unit produksi. Disinilah MNA telah gagal untuk menjalankannya sejak lama. Menurut catatan yang ada pada Direktori Inaca 2009 (edisi 2010 belum didistribusikan, Inaca adalah Indonesian Air Carrier Association) MNA memiliki armada pesawat terbang sebanyak 65 unit dari 6 jenis yang berbeda, namun yang terbang hanya kurang dari 20 buah. Dari data ini saja sudah kelihatan bahwa dari segi alat produksi, MNA tidak mendapatkan manfaat dari apa yang dinamakan economies of scale. Dengan ukuran bisnis seperti ini, idealnya MNA hanya memiliki 1 (satu) jenis pesawat saja, demi efisiensi operasional. Satu jenis tipe pesawat ini juga harus ditetapkan apakah jenis baling-baling (propeller) saja, atau tipe jet saja? Artinya, untuk menyehatkan struktur bisnis MNA, diperlukan suatu perubahan yang sangat radikal agar bisa bertahan hidup. Strategi perubahan yang radikal ini tidak bisa diterapkan dalam jangka pendek dan tidak akan cukup dengan dana talangan yang “hanya” Rp 310 miliar. Bayangkan, bagaimana caranya merampingkan armada pesawat udara yang sudah terlanjur dimiliki, dari 6 jenis menjadi hanya 1 jenis pesawat? Sementara diantara ke 6 jenis ini ada sebuah jenis pesawat MA-60 buatan RRC yang masih bermasalah!

Masalah utama yang sedang dihadapi oleh MNA sekarang bukanlah masalah finansial, tapi masalah bisnisnya. Masalah finansial hanyalah gejala atau symptom atau akibat dari masalah bisnisnya. Untuk itu, MNA harus menemukan solusi yang manjur untuk mengatasi masalah yang sebenarnya dan bukan sekedar menghilangkan gejalanya saja. Untuk mengatasi masalah secara efektif, diperlukan diagnosis yang tepat. Diagnosis yang tepat akan menghasilkan solusi yang tepat pula. Kepindahan pangkalan induk (home base) dari Jakarta ke Makassar harus ada jabaran implementasi pemasarannya, yaitu pola rute yang baru, pola jejaring yangbaru serta perencanaan armada yang baru, yang lebih efisien.

Dalam pernyataan persnya yang dimuat di media nasional, Direktur Utama MNA yang baru Sardjono Johny Tjiptokusumo menyatakan keyakinannya bahwaMNA akan bisa segera pulih dari krisis finansial yang dideritanya selama ini. Ia juga berharap PT Garuda Indonesia bisa menyewakan dua pesawat Boeing B-737-400 yang menganggur. “Masak sama adik kandungnya pelit?” ucapnya. Sebagai pengamat saya sulit untuk meyakinkan diri saya atas kemampuan Direksi yang baru ini. Dari pernyataan pers Direksi yang baru ini sudah terlihat bahwa konsep yang akan diterapkan nanti adalah konsep déjà vu yang selama ini sudah terbukti tidak efektif. Sebagai sebuah airline modern MNA tidak bisa dikelola seperti kita menjalankan bisnis ojek (maaf, penulis). Seolah-olah asal ada kendaraan kita bisa langsung narik terus perusahaan bisa untung? Minat Direksi MNA yang baru untuk menyewa pesawat Boeing B-737-400 dari Garuda menunjukkan bahwa konsep tersebut tidak didasarkan atas suatu studi kelayakan yang genuine. Tanpa melihat komposisi pesawat yang sekarang sudah terlanjur dimiliki oleh MNA, jajaran Direksi baru seperti sudah tidak sabar untuk narik tanpa konsep yang baru dan komprehensif. Logikanya, sebelum berpikir untuk menyewa pesawat Boeing B737-400 milik Garuda yang menganggur itu, harus sudah diputuskan dulu bahwa MNA akan memilih pesawat jet. Pilihan atas jenis pesawat jet akan membawa konsekuensi untuk menghapus jenis pesawat baling-baling dari jajaran armada MNA, termasuk pesawat jenis MA-60 buatan RRC yang bermasalah itu. Apakah dalam kaitan ini sudah ada solusi untuk menyelesaikan masalah pesawat MA-60 dengan pihak pemasoknya?

Selama ini, MNA mendapat kesulitan untuk mendapatkan jaminan kredit untuk pengadaan pesawat terbang, baik sewa maupun beli. Ini disebabkan oleh kinerja keuangannya yang buruk. Secara hukum, status MNA sudah bukan lagi sebagai pesero karena hutangnya tahun ini sudah mencapai Rp 1,6 triliun, sedangkan nilai asetnya cuma Rp 1 triliun saja! Bila masalah separah ini mau diatasi dengan cara meminta tolong kepada kakak kandungnya (Garuda) agar lebih mudah, mungkin Meneg BUMN tidak perlu repot-repot mencari profesional yang tangguh untuk mengelola MNA. Kalau didalam masa yang genting ini, dimana Kuasa Pemegang Saham sudah “mengancam” bahwa ini adalah kesempatan terakhir, sementara Direksi yang baru dilantik masih belum mampu mengidentifikasi masalah yang sedang dihadapi, lalu bagaimana mereka bisa membuat diagnosis secara tepat? Bagaimana mereka bisa menemukan solusi yang mujarab? Saya kuatir kalau MNA memang benar-benar sedang menghitung hari. Semoga saja saya keliru.

Jakarta, 2 Juni 2010

Suhandi Taman Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline