Kata-kata dalam judul diatas adalah parodi yang sengaja saya buat terhadap sebuah iklan produk makanan yang belakangan ini sering kita dengar melalui media elektronik. Gado-Gados . . Enakos . . Mamma Mia! Artinya kira-kira adalah Gado-Gado . . Enak . . Aduh Mak! Agar lebih afdol, pengucapan kata-kata tersebut harus meniru persis seperti iklan aslinya.
Iklan tersebut telah menggerakkan hati dan jari-jemari saya untuk membahasnya. Dibalik kata-kata tersebut ada sesuatu yang menggelitik emosi saya. Katakanlah saya ini korban iklan, tapi tidak dalam arti bahwa saya langsung tergoda untuk membeli produk tersebut. Hati saya menerawang jauh dan berusaha untuk mencernakan makna yang lebih dalam dari untaian kata-kata yang telah disusun dengan baik oleh sang copy writer di dalam iklan tersebut. Coba perhatikan, kata-kata “Gado-Gado . . Enak” dibuat menjadi kespanyol-spanyolan, sedangkan ekspresi “Aduh Mak!” kok dibikin keitalia-italiaan? Apakah si copy writer dari agency yang membuat iklan tersebut tidak tahu bahwa Spanyol beda dengan Italia? Atau, apakah kata-kata tersebut memang sengaja dibuat seperti itu karena alasan komersial? Dengan asumsi bahwa tokh target audience-nya juga nggak ngerti? Kan Spanyol dan Italia sama-sama luar negeri? Sama-sama orang bulè?
Pada hakekatnya iklan adalah pesan. Pesan yang disampaikan oleh produsen kepada calon konsumen yang dibidiknya. Sedangkan bagi sebuah perusahaan iklan, atau yang biasa kita sebut dengan istilah agency, iklan adalah sebuah produk. Memang agak membingungkan juga ya? Iklan adalah sebuah produk yang berfungsi untuk mempromosikan produk. Yang jelas, baik sebagai produk maupun sebagai pesan, iklan harus bisa diterima dengan baik oleh masarakat yang dibidik, atau dalam bahasa asing disebut target audience. Merubah sebuah ekspresi yang lazim kita dengar sehari-hari, seperti “gado-gado, enak, aduh mak” menjadi “gado-gados, enakos, mamma mia” adalah dengan maksud untuk memberi kesan sesuatu yang eksotik. Terlepas dari adanya faktor kesengajaan atau ketidak-sengajaan, sang copy writer dari agency pembuat iklan ini bermaksud untuk mengeksploitasi dua sisi yang ada pada sifat-sifat bangsa Indonesia yaitu sisi yang menyenangi sesuatu yang eksotik dan sisi yang cenderung bersifat introvert. Dalam bahasa yang lebih ”vulgar”, menyenangi sesuatu yang eksotik bisa diterjemahkan menjadi lebih menghargai sesuatu yang berbau luar-negeri. Sifat introvert bisa dirujuk menjadi sifat yang hanya mempedulikan hal-hal yang berada dalam lingkungan sendiri, dan tidak terlalu memperhatikan hal-hal lain yang berada di luar lingkungan diri dan ego kita sendiri. Akibatnya, bahasa Spanyol dan bahasa Italia akan terdengar sama saja di telinga kita. Spanyol bukan Italia dan Italia bukan Spanyol, adalah bukan urusan saya!
Dirintis sejak Trio Los Gilos
Pada tahun 1958, pelawak Harjodipuro atau Mang Cepot membentuk Trio Los Gilos. Grup lawak ini terdiri dari dia sendiri, pelawak Drs Raden Poernomo Tedjokusumo alias Mang Udel dan Bing Slamet. Trio Los Gilos kira-kira berarti trio orang-orang gila. Moto trio ini pada waktu itu adalah, Cepot Gila, Udel Lebih Gila dan Bing Slamet Paling Gila. Nama Trio Los Gilos terinspirasi dari nama grup vokal terkenal asal Amerika Serikat, Trio Los Panchos, yang pernah berkunjung ke Jakarta pada tahun yang sama. Trio ini terdiri dari Chucho Navarro, orang Hispanic Amerika, Hernando Aviles yang berasal dari Puerto Rico dan Alfredo Gil dari Mexico. Grup vokal ini terkenal dengan lagu-lagunya yang berirama Latin dan berbahasa Spanyol. Diantara lagu-lagu mereka yang ngetop pada masa itu dan masih dikenal hingga kini adalah antara lain Solamente Un Avez, Amor dan Perfidia. Disamping lagu-lagu Trio Los Panchos, pada waktu itu ada lagu lain yang juga berbahasa Spanyol yang menjadi hit dan tetap abadi hingga sekarang yaitu lagu Vaya Con Dios. Pada periode berikutnya ada penyanyi pujaan pria bersuara lembut, Jim Reeves yang terkenal dengan lagunya Adios Amigo. Kemungkinan besar, sejak adanya grup lawak Trio Los Gilos ini banyak orang yang meniru-niru bahasa Spanyol dengan cara memberi imbuhan suku-kata os diakhir kata. Maka jadilah gado-gado menjadi gado-gados, dan enak menjadi enakos.
Mamma Mia
Kata mamma mia tidak begitu dikenal sebelumnya. Tapi sejak lagu ABBA dan pertunjukan opera dengan judul Mamma Mia menjadi terkenal di seluruh dunia, maka kata ini menjadi ikut dikenal di Indonesia. Saya beruntung bisa menonton opera ini sampai tiga kali. Satu kali di Prince Edward Theatre, London dan dua kali di Esplanade Theatre, Singapura. Anehnya, walau terkenal dan sering ikut-ikutan diucapkan, tidak semua orang tahu bahwa mamma mia adalah bahasa Italia, bukan bahasa Spanyol. Dari susunan kata-katanya, mamma mia berarti ibu-ku, tapi sebagai ekspresi mamma mia bisa diartikan sebagai aduh mak bagi umumnya orang Indonesia, atau alamak buat orang-orang dari Sumatera atau aduh biung bagi orang Jawa. Ekspresi seperti ini tidak selalu dimiliki oleh semua bahasa-bahasa yang ada di dunia karena adanya perbedaan peradaban dan budaya. Setahu saya, dalam bahasa Inggeris, bahasa Belanda atau bahasa Perancis tidak ada ekspresi yang setara dengan mamma mia ini. Dalam bahasa Italia, kata ganti empunya (possessive pronounce) berada di belakang, bukan di depan. Contohnya mamma mia (ibu-ku), sole mio (matahari-ku), cara mia atau caro mio (sayang-ku atau dalam bahasa Inggeris my dear). Yang menarik disimak disini adalah mengapa kata mamma mia ini jadi terkenal dan disukai di Indonesia? Ekspresi mamma mia dalam bahasa Italia ini sangat pas dengan ekspresi aduh mak dalam bahasa kita. Pada penghujung dekade 1950-an, penyanyi Nien pernah membawakan lagu yang tenar pada masa itu berjudul Aduh Mak. Waktu itu ia belum bernama Nien Lesmana karena belum menjadi isteri Jack Lesmana (Jack Lemmers) dan belum menjadi ibunda Mira dan Indra Lesmana. Lagu itu mengisahkan tentang kebahagian seorang remaja putri yang sedang menjalin cinta dengan kekasihnya. Baris terakhir liriknya berbunyi . . aduh mak air mata jatuh di bantal. Bandingkan dengan kata-kata dalam lirik lagu Mamma Mia-nya ABBA yang berbunyi . . Mamma mia, does it show again? My, my, just how much I’ve missed you, Mamma mia, now I really know, My my I could never let you go . . dst. Perhatikan bahwa ABBA menulis lirik dalam bahasa Inggeris, tapi kata Mamma mia terpaksa dikutip dari bahasa Italia karena bahasa Inggeris tidak mempunyainya.
Bahasa Menunjukkan Bangsa, kata orang. Kata bangsa disini tidak harus diartikan secara sempit sebagai nation. Artinya, cara kita berbahasa akan menunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya. Yang dimaksud dengan diri kita dalam hal ini adalah, jati-diri kita, karakter kita, sudut pandang kita? Bahkan falsafah hidup kita secara menyeluruh. Jadi, kalau masarakat kita menyenangi iklan yang berbunyi Gado Gados . . Enakos . . Mamma Mia, maka itu adalah karena pada dasarnya ia memang menyukai gado-gado, tapi akan lebih menyukai lagi karena telah dibuat berbau luar negeri. Masalah bahasanya campur-campur antara Spanyol dan Italia tidak jadi masalah karena ia memang orang introvert, yang tidak perlu tahu dan tidak peduli apa bedanya atau persamaannya. Sementara pihak produsen melalui agency-nya, menggunakan bahasa ini karena mereka menginginkan kepastian bahwa pesan yang akan mereka sampaikan benar-benar dimengerti dan disukai oleh segmen masarakat yang mereka bidik. Jadi memang benar adanya bahwa bahasa menunjukkan bangsa.
Jakarta, 14 Mei 2010
Suhandi Taman Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H