Lihat ke Halaman Asli

Malaysia, Truly Asia!

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemajuan industri pariwisata Malaysia memang fenomenal. Dulu, saya pernah merasa kasian kepada Malaysia ini. Di awal dasawarsa 1970-an negeri ini mulai ikut-ikutan menjual dan mempromosikan industri pariwisatanya. Waktu itu saya heran apa yang mau mereka tawarkan ke pasar? Mereka ini tak punya Bali, tak punya Borobudur dan tak punya Danau Toba. Tanpa daerah tujuan wisata (DTW) andalan, tanpa budaya dan jati-diri bangsa yang jelas, apa yang bisa mereka dijual? Tapi sekarang, saudara-muda serumpun ini berhasil dengan gemilang mendudukkan negaranya pada posisi yang terhormat di dalam peta turisme dunia. Sekarang Malaysia sudah jauh lebih maju dari Indonesia, dan bahkan mampu menggeser kedudukan historis Thailand sebagai pemegang hegemoni pariwisata di Asia Tenggara sejak tahun lalu. Pencapaian Malaysia yang spektakuler ini bukan suatu kebetulan, tapi benar-benar hasil kerja keras yang didasarkan pada sebuah cetak-biru dari suatu rencana induk (grand design) yang terpadu dan dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan.

Jati-diri dan Budaya

Negera Malaysia diproklamirkan oleh Tengku Abdulrahman Putra pada tahun 1963. Pada masa itu Tengku sedang menjabat sebagai Perdana Menteri Negara Persekutuan Tanah Melayu (PTM), atau Federasi Malaya. Waktu mereka dimerdekakan oleh Inggeris pada tanggal 31 Agustus 1957, negara PTM ini tidak punya Bahasa Kebangsaan. Di Parlemen mereka berdebat dalam bahasa Inggeris, bahasa negara penjajahnya. Sebagai negara belia dan bangsa yang baru bangun dari “tidur-panjang” selama berabad-abad di alam penjajahan Inggeris, Malaysia bangkit dan membangun negaranya secara mantap.

Malaysia membangun negaranya sebagai DTW praktis dari nol. Pada awalnya mereka jatuh-bangun, karena proses pembangunan rangka fondasinya tidak selalu berjalan mulus. Pada tahun 1964 Singapura memisahkan diri, sehingga Malaysia kehilangan pintu gerbang utamanya. Membangun Kuala Lumpur menjadi sebuah metropolitan baru dan bandar hub yang setara dengan Singapura memerlukan suatu perencanaan komprehensif berjangka panjang dengan pembiayaan yang sangat besar. Malaysia Airlines System atau MAS lahir dari pecahnya Malaya-Singapore Airlines (MSA) menjadi MAS dan Singapore Airlines (SIA). Di saat SIA tumbuh dan maju sebagai maskapai kelas dunia, MAS tertatih-tatih dengan berbagai masalah di dalam negeri seperti masalah keselamatan penerbangan dan finansial. Untunglah, secara pelan tapi pasti satu per satu permasalahan itu bisa diatasi.

Sampai dengan awal dekade 1980-an, DTW yang layak-jual di pasar wisata Eropa hanyalah Serawak (Kuching) dan Pulau Penang. Itupun hanya sebagai side destinations atau DTW tambahan dari DTW utama yaitu Thailand atau Bali. Tapi ambisi Malaysia untuk membuat dirinya DTW yang penting di kawasan ini tidak terbendung. Pulau Langkawi dibangun dengan pola pembangunan yang mirip dengan pulau Phuket di Thailand. CEO Club Mediterranée, Trigano diundang oleh Perdana Menteri Mahathir Muhammad. Dengan mengendarai helikopter mereka berdua berkeliling Malaysia. Club Med dipersilahkan memilih sendiri lahan yang cocok untuk membangun hotel disana. Segala jenis pariwisata digarap dengan serius. Salah satu kasus yang membuat Indonesia sakit hati adalah bagaimana Malaysia menguasai pulau Sipadan dan pulau Ligitan secara fisik, sehingga Mahkamah Internasional menetapkan ke dua pulau ini sebagai milik Malaysia. Banyak orang Indonesia yang merasa sedih karena kalah dalam perkara dan kehilangan sebagian dari wilayah kedaulatannya. Tapi cuma sedikit orang Indonesia yang sadar bahwa kita juga kehilangan sebuah DTW andalan untuk wisata selam. Pulau Sipadan adalah satu diantara diving spots yang terindah di dunia. Untunglah Indonesia masih mempunyai kepulauan Wakatobi, pulau Biak dan kepulauan Solor sebagai DTW unggulan untuk wisata selam. Sekedar info untuk pembanding, diving spots di Bali dan Bunaken tidak termasuk dalam kategori kelas dunia.

Sukses Malaysia dalam bidang pemasaran pariwisata ini memang luar biasa. Dengan jumlah penduduk sebanyak 26 juta jiwa, tahun 2009 yang lalu Malaysia berhasil mendatangkan 20 juta orang pelancong asing. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 240 juta jiwa tapi cuma bisa mendatangkan 6,4 juta pelancong saja. Thailand yang secara tradisional selalu nomor satu di Asia Tenggara sekarang cukup puas di posisi nomor dua dengan jumlah kunjungan wisatawan asing sebanyak 14,6 juta orang. Yang dilakukan oleh Malaysia sekarang adalah apa yang dikatakan oleh Philip Kotler sebagai country marketing, bukan sekedar industry marketing. Yang dipasarkan adalah negaranya, bukan hanya industrinya.

Pembangunan sarana/prasarana pariwisata secara fisik tidaklah cukup bila tidak ditopang oleh kebijakan pemasaran yang efektif. Dulu, di setiap ajang promosi pariwisata baik di London, Berlin, Madrid atau Paris, anjungan negara-negara Asean selalu berdekatan satu sama lain. Mereka sama-sama jadi “penggembira”, membagi-bagikan brosur dan daftar harga secara konvensional. Mereka saling mengintip kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kini sementara beberapa negara Asean, termasuk Indonesia masih terus menjadi “penggembira” dengan program-program yang itu-itu saja, Malaysia tampil dengan jati-diri dan budaya yang sama sekali baru. Wajah tradisional Asia yang selalu menggambarkan kerbau membajak sawah, sawah bertingkat dan artefak-artefak peradaban Hindu/Buddha tidak lagi disajikan. Malaysia kini maju ke depan dengan citra yang modern, lepas dari bayang-bayang citra negara-negara tetangganya.

Malaysia, Truly Asia!

Sebagai negara ex jajahan Inggeris dan anggota Persemakmuran, Malaysia tetap berkiblat ke London untuk banyak hal. Malaysia mengenal baik cara pandang orang Inggeris terhadap Asia. Di mata orang Eropa dulu, Asia hanya terdiri dari dua negara besar yaitu Cina dan India. Waktu itu Indonesia dianggap sebagai bagian dari India dan dinamakan India Timur atau India Belanda. Sekarang kita menamakan negara kita Indonesia, yang berasal dari dua kata yaitu India dan nesos yang dalam bahasa Yunani berarti kepulauan. Jadi kita adalah negara India kepulauan. Dari sudut pandang yang lain, Indonesia bisa dimasukkan kedalam kelompok Austalasia atau kelompok kepulauan-kepulauan Oceania, yang lepas dari benua Asia. Kelompok-kelompok tersebut adalah kepulauan Melanesia (kepulauan yang dihuni oleh ras Melanesia), kepulauan Mikronesia (kumpulan pulau-pulau kecil) dan Polinesia (kepulauan yang terdiri dari banyak pulau-pulau), disamping benua Australia dan Selandia Baru. Di Asia Tenggara ada kerajaan-kerajaan yang tidak termasuk dalam wilayah Cina dan tidak pula masuk India. Kawasan ini kemudian dinamakan Indocina, yang berarti wilayah diantara India dan Cina, yang meliputi Vietnam, Campa, Laos dan Kamboja. Penduduk kawasan Indocina adalah dari ras Melayu yang merupakan sub-ras Mongoloid. Ide Malaysia untuk mempromosikan pariwisatanya sebagai representasi dari Asia datang dari kenyataan demografi Malaysia yang meliputi ke tiga ras tersebut yaitu, Melayu, Cina dan India. Mereka hidup berdampingan secara harmonis di dalam kawasan yang bernama Malaysia. Maka lahirlah disini ”Malaysia, Truly Asia!”.

Dengan semboyan atau tag line ini, semua program-program kerja lintas kementerian, lintas unit dan lintas instansi akan mengarah dan mengerucut kepada satu visi yang sama. Tag line ini dijabarkan ke dalam rencana kerja jangka pendek dan jangka panjang dengan tujuan untuk memasarkan Malaysia, atau country marketing. Ke luar untuk menjual Malaysia demi devisa negara, ke dalam untuk mempererat hubungan antar etnis yang notabene tetap saja rawan SARA. Gagasan Malaysia, Truly Asia! ini memang muluk dan tidak selalu mudah untuk dilaksanakan. Tapi Malaysia telah membuktikan bahwa visi ini bisa direalisasikan. Cara yang dipakai oleh Malaysia dalam hal ini mirip-mirip dengan teori manajemen the three W’s yaitu the winning concept, the winning system dan the winning team. Mereka sudah memiliki konsep yang komprehensif dan system yang efektif. Sedangkan the winning team dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan dari generasi ke generasi. Inilah yang luar biasa. Kalau di Indonesia, Soekarno dulu menasionalisasi perusahaan asing sementara Megawati menjual Indosat kepada asing. Di Malaysia, dari jaman Tun Abdul Razak sampai dengan jaman Dato Najib Razak sekarang, mereka menjalankan strategi dan kebijakan yang sama.

Jakarta, 5 Mei 2010

Suhandi Taman Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline